Di negara Indonesia, perawat memiliki kode etik yang sudah diatur oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Etika keperawatan merupakan petunjuk bagi seorang perawat supaya pelayanan keperawatan berpusat pada kesembuhan pasien. International Council of Nurses (ICN) menyatakan bahwa kode etik keperawatan melingkupi khalayak umum serta meluhurkan hak asasi manusia (Utami, 2016). Hal tersebut merupakan fondasi bagi seorang perawat dalam memupuk jalinan positif terhadap seluruh orang dalam mengerahkan pelayanan serta tindakan keperawatan.
Saat hubungan antara perawat dengan pasien berjalan dengan baik, kepuasan serta kesembuhan seorang pasien lebih mudah tercapai. Sebagai seorang perawat yang selalu ada di samping pasien, seharusnya perawat mengerahkan pelayanan keperawatan serta menerapkan kode etik keperawatan dengan baik. Namun pada kenyataannya sampai kini masih terdapat penyalahgunaan kode etik pada pemberian asuhan keperawatan. Hal ini ditandai dengan adanya keluhan pasien yang tidak suka akan pelayanan yang diberikan oleh perawat. Selain itu, pasien pun sadar bahwa keinginannya belum terwujud dengan baik oleh perawat (Nursalam, 2014).
Hal masalah etika tersebut menciptakan konflik perawat dengan pasien yang dimana usaha perawat dalam menyembuhkan pasien tidak tercapai secara baik. Selain itu mengartikan bahwa perawat tersebut belum dapat menerapkan dengan baik sikap profesionalisme serta nilai etik dan moral. Oleh sebab itu, sangat penting bagi para perawat untuk menanamkan profesionalisme serta etik dan moral keperawatan sejak semasa pendidikan seorang perawat berlangsung.
Hal ini dikarenakan nantinya perawat mulai biasa dalam melaksanakan nilai-nilai penting itu saat pemberian pelayanan asuhan keperawatan serta menghindari adanya permasalahan etik yang terjadi (Cristine W. Nibbelink, 2017) (Nursalam, 2014).
Contoh dari strategi transformasi organisasi pada pelayanan kesehatan sekarang ialah pemberdayaan. Conger dan Kanungo (1988); Thomas dan Velthouse (1990) mengartikan pemberdayaan menjadi ambisi pembangun yang terdapat dalam empat pemahaman dimana menggambarkan tujuan seorang individu akan peran kerjanya. Keempat pemahaman ini ialah arti (meaning), kompetensi (competence), penentuan nasib sendiri (self detemination) dan dampak (impact).
Pemberian kekuasaan pada staf ini dilahirkan menjadi skema dalam transformasi organisasi pelayanan kesehatan (Akpotor, 2018). Pada dasarnya, tempat kerja yang menyuplai kanal informasi, sumber, dukungan, memacu pembelajaran serta berkembang adalah suatu bentuk pemberdayaan (Murray, 2017). Konsep pemberdayaan ini digunakan saat merancang strategi memupuk tempat kerja yang baik dalam profesi perawat. Konsep ini telah dipakai pada penelitian di bidang organisasi. Hal ini dikarenakan berfungsi sebagai pembentuk segala intervensi di organisasi dalam memupuk situasi kerja di lingkungan keperawatan (Mabbott, 2006).
Perawat yang berada pada tempat yang memiliki pemberdayaan menghantarkan hal positif, misalnya penerapan pelayanan ke pasien, ketengangan saat bekerja, kepuasan serta retensi yang perawat dapat pada tempat kerja. Praktik konsep strategis manajemen ini bukan saja memupuk sebuah partisipasi maupun prodiktivitas seorang perawat secara lancar.
Tetapi juga membolehkan seorang perawat dalam membentuk otonomi, mengenyam serta memahami nilai kepuasan terhadap kerja (Burkoski, 2019). Strategi pemberdayaan juga mendatangkan kontribusi tangkas para perawat saat mewujudkan sebuah keputusan pada kabar-kabar praktik keperawatan dan lingkungan kerja (Seow, 2017).
Gaya kepemimpinan dari pemberdayaan (empowerment) berguna dalam meningkatkan kualitas perawat sebagai perawat profesional. Namun diperlukan juga pengaturan tugas serta tanggung jawab seimbang yang dibebankan pada perawat, contohnya pengurangan kerja rangkap, pendeskripsian tugas yang jelas, pelatihan dalam peningkatan keterampilan yang dapat mengurangi konflik peran sebagai seorang perawat profesional.
DAFTAR PUSTAKA