Perencanaan keuangan yang baik adalah kunci sukses dari seseorang. Bagaimana tidak sukses, perencanaan menunjukkan bahwa kita serius untuk menghadapi yang akan datang, sebab kita yakin ke depan harus lebih baik.
Tapi, tidak bisa dihindari, terkadang kita terjebak pada apresiasi terhadap usaha yang telah dilakukan. Bekerja tentu membutuhkan banyak hal, mulai dari tenaga, mental, kesehatan, dan sebagainya. Sehingga gajian menjadi sesuatu yang dinanti untuk menebus itu semua.
Sayangnya, banyak yang lengah juga sehingga yang untuk masa depan menjadi terlupakan, padahal inilah yang menjadi esensi. Bukankah ketika kita telah memutuskan untuk berkarir, adalah untuk menjamin keberlangsungan hidup? Seperti menyukseskan pendidikan, hidup tenang berumahtangga, membahagiakan orang-orang terkasih, dan siap menghadapi usia pensiun. Menurut OJK (Otoritas Jasa Keuangan), seperti yang dikutip dari situs Harian Ekonomi Neraca (29/09/14), Indonesia masih tergolong sebagai yang memiliki tingkat literasi keuangan yang cukup memprihatinkan, yaitu 28%. Survei ini menunjukkan bahwa mayoritas belum sepenuhnya "melek" dalam mengelola keuangannya. Dampaknya? Apa yang lebih buruk dari ketersediaan uang itu sendiri, itulah masalah yang umum ditemui dalam keuangan.
Tanggung Tetapi Juga Perlu Tangguh
Masalah mengatur keuangan ini tidak jauh dari kebiasaan setiap individu. Sebuah survei yang dilakukan oleh Center of Middle Class Customer Studies merilis bahwa perilaku kelas menengah di 6 kota yang diteliti di Indonesia menunjukkan 75% penghasilan digunakan untuk konsumsi, sedangkan hanya 25% saja yang untuk ditabung dan investasi. Padahal, disarankan dalam survei itu, 30% adalah minimal untuk simpanan dan investasi, sedangkan sisanya untuk konsumsi dan cicilan hutang.
Sudah tidak perlu diragukan lagi untuk mereka yang telah menjajaki kelas ekonomi atas. Uangnya sudah banyak. Tetapi bagi kelas menengah?
Kelas menengah menjalankan peran penting dalam perekonomian nasional. Tingkat pendidikan dan mobilitas yang tinggi menunjukkan mereka lah yang mayoritas produktif. Posisinya yang berada di tengah membuatnya harus berjuang keras. Bila sukses, mereka akan menapaki tingkat yang lebih tinggi; tapi bila gagal, bahkan tidak memiliki perencanaan keuangan yang baik, bisa jadi siap-siap memasuki kelas bawah dalam tingkat ekonomi di masyarakat.
Kelas atas sudah memiliki jaringan yang luas dan hubungan dengan orang-orang "atas" pula, mereka sudah siap menghadapi permainan saham dan investasi lainnya. Kelas ekonomi bawah, mereka dibantu oleh berbagai subsidi dan bantuan layanan masyarakat lain. Perhatian pemerintah banyak tertuju kepada mereka. Tetapi, kelas menengah itu tanggung, sekaligus harus tangguh. Banyak dari mereka yang tidak tersentuh layanan-layanan itu. Oleh karena itu, tingkat kehati-hatian atau kewaspadaan harus optimal. Padahal pendapatan juga belum sepenuhnya dikatakan tinggi. Mereka berjuang dengan keuletan dan pengetahuan.
Ciptakan Kebiasaan yang Teratur dari Awal
Sekilas tentang keadaan di masyarakat itu dapat menjadi pelajaran bahwa perencanaan keuangan yang baik adalah kebutuhan. Perlu untuk dibiasakan sejak dini. Hal ini juga menjadi masalah psikologis di Amerika, seperti yang dipublikasikan oleh American Psychological Association, tentang hubungan pembicaraan keuangan terhadap stres yang dialami masyarakat. 95% responden mengatakan bahwa mereka sebaiknya membicarakannya kepada anak. Sayangnya, hanya 64% anak yang diajari bagaimana cara mengatur keuangan dan sisanya sering membicarakannya kepada anggota keluarga.
Memang, anak perlu dikenalkan dengan perencanaan keuangan. Saya ingat ketika masih kecil, ayah atau ibu sering mengajak saya untuk ke bank, membayar tagihan telpon rumah, listrik, dan pajak. Seperti anak-anak yang lain, awalnya saya tidak tahu, kalau ingin sesuatu tinggal minta kepada orang tua. Tetapi di balik itu, ada kewajiban yang harus dikeluarkan atau dipersiapkan sebelum akhirnya bisa membelikan mainan atau makanan yang lezat.