Lihat ke Halaman Asli

Media Sosial Bukan Indikator Demokrasi!

Diperbarui: 2 September 2015   12:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media sosial (medsos). Sering dipandang sebagai indikator dari demokrasi dalam perspektif komunikasi di era digital. Sering dikatakan pula bahwa gerakan masyarakat dengan mudah digalakkan dengan medsos. Berbagai petisi disebarluaskan dan diikuti para netizen.

Masyarakat telah mulai melek teknologi. Medsos sudah bukan hal yang asing. Tetapi, seiring dengan kehadirannya yang telah membudaya, akhirnya dibelokkan, dikhianati, dan dirusak oleh sebagian kalangan. Tidak bisa dihindari, penggunaan media sosial sulit untuk digunakan dengan bersih tanpa ada motif di baliknya. Padahal, medsos awalnya digunakan murni untuk menjaga relasi sesama rekan. Koordinasi jadi lebih mudah. Dulu ada milis, sekarang bisa tergabung dalam grup mulai facebook, whatsapp, atau  blackberry messenger. Twitter juga menghadirkan "list", meskipun sedikit  ribet karena komunikasi grup tetap perlu mention, tetapi bisa membantu kita mengetahui apa saja twit dari setiap anggota dalam list tersebut. Penulis beberapa kali telah di-list bersama para blogger dan wartawan yang aktif dengan Twitter.

Memang, medsos bisa jadi ruang demokrasi yang membantu kita mengutarakan pendapat. Demokrasi bertumpu pada rakyat atau masyarakat. Bebas beraspirasi. Ya memang bebas dalam hal itu saja. Sirkulasi dan transfer informasi sangat dinamis dengan jaringan internet. Demokrasi direalisasikan dalam hal kemudahan akses menyalurkan pendapat dan ide.

Sangat disayangkan, etika ber-medsos masih kurang. Informasi yang dibagikan tetap ada yang berupa hasutan dan sampah, mengaburkan manfaat dari medsos. Akibatnya, mau nggak mau, kita ada ditengah-tengah gelombang emosional. Pada beberapa kasus, aktifitas medsos mencapai bullying. Remaja yang psikologisnya masih belum stabil bisa bunuh diri!

Marah

Sebagai pengguna, kita juga perlu objektif. Beberapa kali penulis menemui share dari pengguna berupa link artikel yang heboh dengan judul yang emosional dan kasar. Ternyata benar... setelah ditelusuri, ya situsnya ya hanya itu-itu saja. Kalau bukan  bagian dari propaganda golongan tertentu, ya orang-orang "radikal" yang hanya bisa menjadi provokator untuk mengeruk keuntungan kelompok mereka sendiri.

Atas masalah yang sedang dihadapi negara kita saat ini, medsos menjadi ruang perang saraf yang bikin darah tinggi sampai ubun-ubun.

Kompetisi ini kenapa masih berlangsung terus? Penulis kira, akan turun tensinya setelah pemilu. Sebaliknya, malah lebih kuat dan meledak-ledak.

Ada di antara kita, sengaja mem-posting karena kelompoknya sendiri. Pokoknya, apa-apa yang bukan dari golongannya harus dikritik bahkan dimaki-maki.

Tentu risih juga kalau setiap hari dihadapkan dengan seperti itu. Lalu bagi kelompok yang lain membalas. Bagi yang di jalan tengah, mereka berusaha menetralkan dengan ambil sisi-sisi positifnya. Menjelma menjadi motivator.

Seharusnya medsos bisa jadi ajang berpendapat sehat. Orang yang kritis itu bukan berarti segalanya dikritik. Cari-cari cacatnya, setelah itu dibiarkan menggantung dan tidak tuntas sampai solusi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline