Lihat ke Halaman Asli

Di Sini Bukan Negeri Galau!

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kata “galau” sudah pasti bukan suatu yang asing bagi anak muda saat ini. Sering disebut-sebut bahwa ini menjadi ciri khas dari anak muda. Saya kurang tahu mengapa fenomena ini tiba-tiba saja mencuat di negeri yang seharusnya bercirikan orang-orang yang tangguh. Mudah saja mereka mengucapkan, “Galau nih gue!”, “Lagi galau nih..” atau singkat saja “GALAU” seperti status Facebook salah satu teman saya.

Sebagai salah satu pemuda Indonesia, saya agak risih dengan kata itu. Sekali boleh lah kita sedih sebagai manusia biasa yang diberkati hati untuk merasakan aspek psikologis. Tapi kalau keterusan?  Apa tidak “menjijikkan”? Padahal anak muda (selanjutnya kita sebut pemuda) adalah titik awal menuju kedewasaan. Seperti yang dikatakan guru-guru dari jaman SD sampai SMA bahwa usia remaja adalah masa peralihan dari “anak kecil” menjadi dewasa. Tentu proses pendewasaan diri ini harus dilewati dengan semangat karena mereka akan menghadapi berbagai hal yang tentu lebih rumit, sulit dipercaya, sibuk dan itu menjadi sebuah tantangan yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan. Dari sinilah sebaiknya pemuda mencoba hal-hal baru yang mendukung masa depannya.

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno,  mengatakan, “Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncangkan dunia”. Kemudian beliau juga merubah “Ikrar Pemuda” menjadi “Sumpah Pemuda” seperti yang dituliskan dalan Tajuk Rencana Kompas (29 Oktober 2012, halaman 6). Ini menandakan betapa pentingnya pemuda ditengah-tengah keberadaan suatu bangsa. Pemuda begitu diharapkan karena mereka akan meneruskan usaha dari para pendahulunya. Sebelum merdeka, pemuda lah yang berusaha mendorong Dwi Tunggal untuk segera menetapkan kemerdekaan Indonesia sebagai negara yang berdaulat.  Hal ini didorong oleh hati akan pentingnya arti sebuah kemerdekaan. Berbagai usaha telah mereka lakukan dan itu berhasil ketika Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Mengutip dari Nelson Mandela, “Semua itu terlihat tidak mungkin ketika belum dilakukan”. Ya, kutipan itu memang benar. Bayangkan, 350 tahun dijajah Belanda dan 3,5 tahun bersama Jepang tentu terbentuk pola pikir dan watak “negara yang terjajah” yang selalu menerima dan pasrah. Tapi, kenyataannya… Pemuda mampu menggetarkan nusantara.

Dari sejarah, kita bisa menilai diri kita. Begitu juga dengan masa depan kita. Sebaiknya kita ubah pola pikir “galau” ini menjadi ketangguhan, semangat dan optimisme dalam diri pemuda. Ketika pemuda bisa menerapkannya, maka dia sudah menyumbangkan dirinya untuk kemajuan bangsa. Negara ini membutuhkan orang-orang tangguh dan semangat pantang menyerah.

Ini adalah partisipasiku untuk Indonesiaku. Semoga bisa membangkitkan semangat kepemudaan Indonesia.

Vilya Lakstian

Mahasiswa dan pemerhati budaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline