Lihat ke Halaman Asli

Kalau Kamu Tetap Tak Ada, Aku Bisa Apa?

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Diluar sudah hampir malam, sore yang tak pernah terlihat kelam. Namun tugas di kantor tak kunjung selesai, fahamlah seharusnya apa yang kulakukan hingga kerjaanku usai. Aku suka melahap keriuhan sore, debu jalanan dan kegaduhan yang  membuatku semakin menikmati sore dengan melahapnya seperti makanan. Senyumku dikala sore agak sedikit berbeda dengan senyumku ketika pagi. Aku tak terlalu suka suasana pagi yang kebanyakan orang lain puji, aku lebih suka aroma sore yang gaduh hingga membuat dahiku makin berpeluh. Sore semakin riuh, sampai aku sendiri tak sadar banyak kuhabiskan waktu memandangi jalanan dari tepi jendela yang seharusnya kupakai tadi untuk menyudahi segala yang menghalangiku pulang.

Kurebahkan punggungku sedikit menepi di tembok Halte Bus Selatan, sesekali kurapihkan poniku hanya untuk menandakan bahwa aku masih setia untuk menunggu yang ingin membawaku bahagia. Namaku Halena, setia adalah prioritas utamaku dari segala diatas kesegalaanya. Aku selalu setia untuk tetap menunduk ketika yang lain mulai menatap, aku selalu setia untuk tetap berdiri ketika yang lain mulai duduk karena lelah, dan aku selalu setia untuk tetap bertahan ketika yang lain sudah mulai bosan.

Disela kesibukan jariku menjelajahi dunia, sms yang kutunggu-tunggu darinya tak juga menunjukkan kesan bahwa dia masih ada. Masih dalam reaksi yang sama, di waktu yang berbeda. Ketika mulai jenuh memikirkan apa yang seharusnya tidak kupikirkan, aku suka memetik bunga disamping pagar halte yang kelopak kecilnya terlihat sengaja menjulur untuk kupetik. Bagian favoritku adalah ketika harumnya terbawa kemanapun saat aku menggenggamnya. Wangi itu selalu sampai diruang rebahku, tak pernah sampai hilang. Dan jika wanginya sudah mulai hilang aku mulai mencari wanginya dari telapak tangan tempatku tadi menggenggam. Hemmh.. aku suka

Malam yang lelah, 15 Hari sudah aku menunggunya di tempat yang sempat ia janjikan. Wajar jika kubilang lelah, karena mungkin tak ada yang sanggup menunggu berdiri dalam high heels 15 centimeter dan kepastian yang.. entahlah.

"Kita bertemu di Halte Bus Selatan, setelah kamu pulang kerja ya. Love you"

Itu jadi pesan terakhir setelah aku benar-benar menunggunya, sent box handphone ku sudah terlampau penuh untuk memastikan dia akan membalas pesanku, ratusan panggilanku tak ada yang tersaut. Tapi inilah aku, yang tak pernah ingin tau artinya dari semangat yang surut.

Sore yang gelap. Tak ada keramaian seperti sore-sore kemarin yang kuingin, tak ada debu jalan yang biasa ku hirup, dan tak ada kelopak bunga melati yang senang kupetik. Hujan mengacaukan soreku, masih kutunggu ia di tempat yang sama. Entah seberapa erat ku genggam handphoneku untuk  memastikan tak ada pesan yang terlewat, separuh tubuhku kini hampir basah. Suara hujan mengalahkan gemerutuk gigi-gigiku beradu, dan akan kutahan sampai waktu yang dulu ia tentukan.

"Permisi, apa benar kau yang bernama Helena itu?"

"Ya, saya. Kamu siapa?"

Riuh sorakan deretan hujan yang tak mau kalah dengan teguran pemuda itu tak menyulutkan dahiku untuk semakin berkerut.

"Saya, Adi. Adik dari Dimas.."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline