Lihat ke Halaman Asli

Yhonas Oktavian

overthinker

Budaya Mengancam, Perlukah?

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ngebut Benjut!”

Sebuah peringatan itu terpampang di sebuah jalan kampung sekitaran Yogyakarta yang biasa saya lewati ketika berangkat bekerja, sebuah peringatan yang membuat saya tersenyum geli karena menurut saya papan itu bukan peringatan tapi lebih kepada sebuah ancaman.  Beberapa waktu yang lalu malah bertambah poster besar yang dipaparkan di tepi sungai: “Dilarang menangkap ikan menggunakan racun, ngeyel setraaaaappp!!!!!! (saya sampai lupa berapa tanda seru yang harus saya tuliskan agar persis seperti papan tersebut). Sepertinya sudah dianggap lumrah bahwa untuk menyampaikan imbauan yang baik harus menggunakan cara yang bernada mengancam agar imbauan itu ditaati.

Sudah menjadi sebuah kebiasaan di sekitar kita bahwa mengancam itu merupakan hal yang wajar. Seringkali kita malah tidak menyadari bahwa kita tumbuh dengan berbagai ancaman yang hadir di sekitar kita. Bahkan yang paling parah hal itu banyak dilakukan oleh orang tua kita semasa kita masih kecil dan sedang sulit dikendalikan. Pasti kita familiar dengan kalimat “Awas kalo gak nurut nanti dimarahi Pak Polisi/Dokter/Guru” (Kasihan Pak Polisi/Dokter/Guru kan? Jadi kesannya mereka adalah orang yang tidak bersahabat). Yang paling sering kita temui adalah ancaman yang dilakukan seorang ibu yang diselubungi sebuah lagu kepada anak bayinya.

Nina bobok, oh nina bobok…

kalau tidak bobok digigit nyamuk…

Menurut saya kok lagu itu jauh dari kesan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Lebih cocok untuk ibu psikopat yang sedang menyeringai sambil menyanyikan lagu nina bobok. Untuk menidurkan saja sang ibu gak mau repot, pokoknya harus tidur atau digigit nyamuk, sang ibu tidak pernah memberikan alternatif lain kepada si anak.

Mungkin karena dari bayi kita sering mendengar sebuah ancaman, jadi kita terbiasa membangun komunikasi dengan atmosfer yang mengancam, kata-kata seperti: Awas! Kalau tidak….! Kita kurang lega atau merasa ada yang kurang jika harus sekadar memperingatkan dengan kata-kata yang membangun, kita akan lebih percaya diri kalau kata-kata yang kita gunakan adalah kata-kata yang mengintimidasi lawan bicara.

Menurut saya, sebuah ancaman yang datang terus menerus akan mengkerdilkan kreativitas seseorang. Orang tidak akan bebas berkreasi melakukan sesuatu karena terbayang akan ancaman-ancaman yang hadir di sekitar mereka. Ancaman pastilah menghasilkan ketakutan, sayangnya di jaman sekarang ini banyak orang yang bangga ketika ditakuti, banyak orang yang merasa hebat ketika ditakuti, banyak orang tua yang merasa bisa mendidik anaknya dengan membuat mereka menurut karena takut.  Orang tua kadang terlalu malas untuk membangun komunikasi yang selevel dengan si anak, sulit memang, jauh lebih mudah mengatakan: sudah jangan menangis! Nanti dimarahi Pak Dokter! Daripada harus memahami ketakutan mereka dan menjelaskan dengan penjelasan yang masuk akal di pikiran mereka.

Kesimpulannya adalah, memberikan ancaman memang lebih mudah dan boleh dikatakan efektif untuk membuat orang lain mengikuti hal yang kita mau. Akan tetapi hal tersebut hanya akan terjadi dalam rentang waktu tertentu saja, ketika kita masih punya kekuasaan untuk mengancam, tapi suatu saat ancaman tersebut bukan tidak mungkin berbalik kepada kita ketika kita sudah tidak mempunyai kekuasaan lagi dalam melakukan ancaman. Jangan salahkan anak yang mengancam akan mogok sekolah ketika orang tua tidak mampu membelikan sepeda motor, karena dulu orang tua juga mengancam akan memukul jika tidak mau menuruti kemauan orang tua.

Mari kita ingat semboyan: Jika anak dibesarkan dg cacian, ia belajar memaki. Jika dibesarkan dg permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika dibesarkan dg cemoohan, maka ia akan belajar rendah diri. Jika dibesarkan dg toleransi, ia belajar menahan diri. Jika dibesarkan dg dorongan, ia belajar percaya diri. Jika dibesarkan dg kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan. Jadi jika orang tua membesarkan anak dalam ancaman, si anak akan belajar bahwa dunia ini sebagai ancaman.

Jadi, jangan salahkan Nina kalau sekarang mengancam minta smartphone kalau tidak dibelikan akan mogok sekolah, toh kita dulu yang mengancamnya dengan gigitan nyamuk ketika si Nina tidak mau bobok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline