Lihat ke Halaman Asli

Yhonas Oktavian

overthinker

Suju, Proyek Jangka Panjang Korea

Diperbarui: 30 September 2020   15:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1339120316588504077

SUJU, ya, istilah tersebut sangatlah terdengar santer akhir-akhir ini baik di social media dan percakapan sehari-hari khas anak muda. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari konser bertajuk SUPER SHOW 4 yang mereka gelar di Jakarta. Berbondong-bondong remaja dari berbagai daerah di Indonesia berburu tiket membanjiri Ibukota, bahkan tidak sedikit yang berasal dari uar daerah, bahkan dari luar pulau Jawa.

Sukses! Ya, itulah satu kata yang tepat untuk menggambarkan kehebatan industry K-Pop dewasa ini. Tidak hanya sekedar membidik pasar Asia, pasar Eropa dan Amerika pun takluk oleh kelincahan koreografi dan hentakan energi musik yang mereka bawakan. Kiblat industri musik dunia pun perlahan namun pasti mengacu ke gaya mereka. Tidak ketinggalan Indonesia, lihat saja panggung musik Indonesia selalu dipenuhi dengan girlband ataupun boyband bergaya Korea. Jumlah mereka sudah banyak, bahkan terlalu banyak sampai-sampai saya sendiri tidak bisa membedakan grup mana yang sedang tampil. Mungkin penonton seperti saya juga tidak akan menyadari kalau beberapa personil mereka sudah keluar atau malah mereka memakai stuntman saat manggung. Anyway, terlepas dari hal-hal tersebut, Korea’lah yang paling diuntungkan dari fenomena tersebut.

Dari tulisan kompasianer Suryono Briando Siringo yang berjudul Belajar Dari Korea Bukan Malah Meniru..!! tertulis informasi bahwa pemerintah Korea berperan penting dalam perkembangan K-pop hingga menjadi besar seperti saat ini. Saya kutip langsung dari tulisan beliau “Sekitar 20 tahun lalu, misalnya pemerintah memberi beasiswa besar-besaran pada artis dari berbagai bidang seni untuk belajar di AS dan Eropa. Dari program-program itu lahirkan artis-artis berpengalaman. Kata Yon - Jae kwon semua artis K Pop digembleng selama 6 bulan hingga 1 tahun. dan bisa menghabiskan dana sampai US$400K (sekitar Rp 3,7 miliar). Etnews.com, situs berita teknologi informasi Korea mengutip data The Korea Creative Content Agency memprediksi pendapatan Korea dari ekspor budaya pop , musik, sinetrom dam games di seluruh dunia tahun 2011 berjumlah 3,8 milyar atau 35 triliun, meningkat 14% dari tahun 2010. K-Pop juga mendongkrak cita pariwisata Korea. Kini jutaan orang tertarik mengunjungi Korea termasuk ke Pulau Nami di propinsi Gangwon-do yang menjadi lokasi shooting Winter Sonata, sinetron Korea yang ngetop tahun 2002. Dulu pulau kecil itu sepi, jumlah pengunjungnya 200.000 per tahun. Kini pengunjungnya rata-rata 1,6 juta per tahun.”

Totalitas, itulah yang dapat kita tangkap dari fenomena K-Pop yang sedang merajai dunia ini. Bagaimana dari tiap elemen Korea saling mendukung dan mempunyai tujuan yang jelas dari sebuah proyek jangka panjang mereka, kemajuan Negara Korea. Mungkin banyak para elit politik kita yang tidak berpikir sampai disitu, mereka malah sibuk mencibir bahwa anak muda kita kehilangan identitas dan jati diri dengan mengidolakan K-Pop yang sedang menjamur saat ini. Mungkin mereka menganggap hal-hal seperti ini adalah hal remeh, jauh lebih penting memikirkan video porno Ariel dan Luna Maya. Akan tetapi, ternyata dari K-Pop, kita bisa lihat sendiri berapa peningkatan pemasukan Korea yang didapat dari setiap tahunnya. Yang lebih penting adalah K-Pop ini merupakan proyek jangka panjang Korea untuk membentuk sebuah Korean Discourse, jika kita memakai istilah Michael Foucault. Korean Discourse akan dengan mudah meningkatkan citra Korea di mata dunia. Sebagai bukti, sekarang ini mahasiswa akan lebih banyak memilih beasiswa ke Korea daripada Eropa ataupun Amerika, ya, Korean Discourse sedang dibentuk secara terarah oleh seluruh elemen Negara Korea.

Hal yang sama dulu pernah dilakukan Jepang untuk membentuk citra mereka. Jepang membanjiri dunia dengan menggratiskan komik-komiknya ke seluruh dunia, mereka tidak berpikir tentang keuntungan saat itu, tapi keuntungan yang didapat Jepang beberapa tahun setelahnya jauh lebih berlipat ganda ketika industry komik mereka sangat berjaya menggeser industry komik Amerika. Ketika komik-komik Jepang sudah mulai diterima dunia, mereka dengan bebas menyebarkan segala sesuatu hal tentang budaya mereka ke seluruh dunia. Amerika pun juga pernah menggunakan film-film hollywoodnya untuk menjajah budaya Negara lain, yang paling terkenal adalah film Rambo yang bercerita tentang seorang pahlawan berotot yang berhasil mengacak-acak Vietnam seorang diri yang mengangkat citra Amerika. Sepele tapi efektif, lagi-lagi sepertinya tidak terpikirkan oleh para elit politik kita, pastilah komik hanya mereka anggap bacaan anak kecil yang tidak penting, jauh lebih penting mengurusi rok mini yang katanya akan membuat akhlak kita lebih beradab dari negara lain.

Kompak dan totalitas, itulah dua hal yang tidak kita punyai sebagai Negara yang katanya disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita terlalu sibuk berkonflik dengan urusan dalam negri. Sudah terlalu banyak konflik internal yang kita ciptakan sendiri. Sudah terlalu banyak kasus korupsi yang bertujuan menguntungkan diri sendiri. Para pemimpin kita belum selesai dengan urusan pribadi mereka untuk mengemban tugas Negara. Bahkan saya pun sebagai mahasiswa yang notabene bagian kaum intelektual muda negeri ini juga tidak mampu berbuat banyak dan masih bingung akan berbuat apa untuk Negara ini. Kita terlalu sibuk dengan urusan pribadi, sehingga tidak tercipta sebuah kekompakan dalam hubungan bernegara untuk membangun bangsa secara total dan bersama-sama. Hasilnya? Jangan heran kalau remaja kita hanyalah menjadi konsumen abadi yang selalu terjajah oleh Negara-negara yang sudah berhasil membentuk discourse mereka seperti Jepang, Amerika, dan Korea.

Semoga dengan adanya fenomena SUJU ini para elit politik kita mulai berpikir bahwa membangun Negara tidaklah selalu harus melalui persaingan partai politik saja. Perhatikanlah juga budaya-budaya potensial yang seringkali kita anggap remeh. Janganlah malu belajar dari Jepang, Amerika, dan Korea yang berhasil membentuk discourse budaya mereka melalui komik, film, dan industry music, tidak melulu iewat persaingan politik. Marilah kita kompak dan secara totalitas membentuk Indonesian discourse yang dapat menyebar dan diterima di seluruh dunia sehingga kita dapat “menjajah” Negara lain dengan ke-Indonesia’an yang dapat kita banggakan sendiri. Sudah cukup lama terlena menjadi konsumen, saatnya kita menjadi produsen. Hidup Indonesia!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline