Setelah sepekan penuh kegembiraan di Flores, aku kembali ke Makassar untuk mengikuti orientasi mahasiswa baru yang kedua. Meski hati terasa terasa berat karena tak sempat menemui Maria Yosephine, semangat untuk memulai babak baru di dunia perkuliahan terus bergelora dalam dada.
Orientasi mahasiswa baru yang kedua diselimuti oleh gelombang antusiasme dan sukacita yang mengalir begitu indah.
Namun, di lubuk hati yang tersembunyi, terukir kerinduan yang tak terucap.
Setiap langkah dalam kegiatan orientasi, membawaku merasakan sebuah petualangan baru. Bayangan senyum malu Maria Yosephine di depan pintu kosku terus menghiasi alam bawah sadarku.
Dalam setiap momen, keceriaan seakan menjadi catatan indah yang mengisi lembaran hidup.Dibalik itu, nostalgia akan senyumnya memberikan warna tersendiri.
Saat sesi-sesi orientasi berlangsung, aku berusaha meresapi setiap momen dan menjalin pertemanan dengan teman-teman seangkatan. Di antara keramaian itu, kenangan tentang surat dan wajah Maria Yosephine selalu menghiasi perjalananku.
Ketika malam tiba, aku duduk di sudut kosanku, menatap bintang-bintang di langit Makassar. Dalam keheningan malam, aku menulis surat untuk Maria Yosephine, menceritakan setiap detail dari hari-hariku dan bagaimana rindu ini semakin tumbuh di setiap sudut kota yang sama.
Surat itu menjadi cara terbaik untuk merayakan setiap momen di Makassar, sementara hatiku terus memikirkan pertemuan berikutnya dengan Maria Yosephine. Meski jarak memisahkan, tetapi mimpi dan surat-surat ini menjadi benang penghubung cinta pertama yang terus tumbuh dalam kejauhan.
***
Enam bulan kemudian menjelang ujian semester pertama,berita yang tiba melalui surat elektronik mengguncang jiwa.
Jiwa seakan terlepas dari raga .