Neng nggunung tak cadhongi sego jagung
Yen mendung tak silihi caping nggunung
Sukur bisa nyawang gunung ndeso dadi rejo
Dene ora ilang nggone podho loro lopo
Lirih lirik syair menelusup kedua gendang telinga saya, saat telapak kaki mulai menapaki Desa Wisata Rejowinangun. Syahdu memang tapi sudah cukup membuat saya teringat keseluruhan syair dari lagu campursari, "Caping Gunung".
Diiringi Gejog (bahasa Jawa) atau pukulan antara Alu dan Lesung yang membentuk ritme tertentu. Iya, saya, dan para peserta touring Jelajah Desa disambut dengan alunan Gejog Lesung Desa Wisata Rejowinangun.
Silakan membaca artikel disini untuk tahu bagaimana jalan cerita perjalanan saya, sampai ke salah satu dari 50 Desa Wisata yang dibina Kemenparekraf.
Awalnya tentu banyak yang terkesima begitu tahu ada desa wisata di tengah kota, karena selama ini asumsinya desa wisata pasti berlokasi di pelosok. Ternyata memang masih ada desa di tengah kota, lengkap dengan sumber daya alam, sumber daya manusia, fasilitas yang tetap harmonis dengan alam tapi tetap tak ketinggalan zaman.
Gejog Lesung
Baik, kembali ke Gejog Lesung yang mengiringi bapak ibu penyanyi Campursari berdendang. Memang lagu Campursari ataupun tembang dolanan anak-anak (lagu saat anak-anak bermain) menjadi lagu yang wajib disenandungkan saat memainkan Gojek Lesung.
Bagi generasi X dan seterusnya mungkin terasa asing terdengar. Maklum sih, karena memang seni budaya ini sudah lama tak digerakan lagi secara masif.
Oleh sebab itu begitu telapak kaki menjejakan area peresmian landmark Desa Wisata Ramah Berkendara, saya bersemangat untuk merekam setiap momen rangkaian Festival Kreatif Lokal 2022 Adira Finance.