"Ngopo sih mondar-mandir terus? Duduk sini!" Saya melangkah kaki menjauhi kotak sabun begitu kakak lelaki mencoba membuat saya berdiam. Saat itu saya heran kenapa kakak saya sebisa mungkin selalu menonton sinetron Keluarga Cemara. Beberapa tahun kemudian, saat saya sudah bisa memandang dunia lebih lebar, ternyata kakak saya hampir menyerupai karakter Abah. Saya bersyukur.
Abah Keluarga Cemara yang saya kenal di sinetron secara visual berbeda dengan Abah di film. Wajar, karena kembar pun bisa mempunyai perbedaan secara visual. Ardi Kurdi dengan Ringgo Agus tentu mempunyai banyak perbedaan visual maupun cara menerjemahkan tokoh ayah pada masing-masing masanya.
Abah tetaplah Abah
Oya saya bukan fans dari Ringgo Agus walau terkadang mengintip linimasa media sosialnya. Menurut saya untuk film yang dibuat di era generasi Alpha, maka sosok Ringgo Agus sudah memenuhi semua unsur baik kualitas, daya jual, maupun faktor pencerminan seorang kepala keluarga. Film dibuat sebagai pantulan penontonnya bukan?
Mungkin ada yang bertanya, kenapa nama panggilan tetap Abah, Emak, Teteh dan sederet yang lain jika mereka hidup sebagai keluarga pengusaha dan di masa generasi Alpha? Memang terkesan janggal, namun menurut saya bukan hanya karena scenario menggariskan demikian.
Kakak saya walau hidup di Singapura, tetep membahasakan dirinya dengan sebutan Bapak, begitu juga dengan ipar yang dipanggil bu (saat mengucapkannya ada penambahan abjad K di belakang). Memang entah bagaimana dengan keluarga yang lain, namun bagi saya itu sebuah langkah untuk membumi dengan nusantara dengan langkah kecil namun kunci.
Opak dan Euis
Jika berbicara tentang Opak, ingatan tertuju pada Euis yang di film ini diperankan oleh Zara JKT48, silakan berseluncur dengan gawai untuk mengetahui bagaimana rekam jejaknya. Wajar juga jika penonton kembali membandingkan peran Euis dari sinetron dengan pemeran di film. Bagi saya Zara sukses menerjemahkan sosok Euis di era Alpha. Dia pandai berseni peran karena Zara yang saya amati saat Meet & Great bukanlah Euis.
Ara dan Emak
Ara, iya putri kedua dari Abah dan Emak yang diperankan oleh Widuri Putri Sasono, berhasil membantu saya melepaskan tawa. Bukan, bukan pada saat adegan di mana memang mendukung untuk tertawa. Saya menderaikan suara tawa saat Ara menyajikan respon yang kontra dengan adegan pemain yang lain. Adegan di mana sebuah kesesakan namun dipandang Ara sebagai sebuah kesempatan yang baru.
Bagi saya, Ara menampar para manusia yang disekitarnya termasuk saya tentang bagaimana seharusnya menyikapi setiap masalah. Dia juga yang menjadi pohon bagi keluarganya agar tetap mendapat suplai oksigen berupa sisi positif serta sudut pandang berbeda.