Lihat ke Halaman Asli

Vika Kurniawati

Freelancer

Legit Gurihnya Gatot Geplek Geprek Gunungkidul

Diperbarui: 7 Desember 2018   17:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gatot Geplek Geprek. Doc: Riana Dewie

"Gatot ya ini mas?" Pertanyaan yang diikuti anggukan, dan senyuman dari pria berikat kepala batik. Sebelumnya dia menyodorkan satu ruas batang bambu yang sudah dibelah memanjang. Aroma segar parutan kelapa muda membuat jemari saya tak tahan tidak  mengambilnya. "Makanan khas Gunungkidul mba."

"Kami menyebutnya Gaplek Geprek mba, memang disajikan dengan ruas bambu agar unik serta menarik. Tenang sudah dibersihkan terlebih dahulu sebelum dipakai untuk kemasan". Jawaban akan pertanyaan yang belum sempat saya ucapkan, sudah diutarakan saat dahi saya sedikit mengkerut.

Gatot

Sewaktu kecil, saya selalu menghubungkan Gatot dengan  nama salah satu tokoh pewayangan yaitu Gatotkaca. Ternyata nama makanan tradisonal tersebut tidak ada hubungannya dengan Gatotkaca, karena Gatot adalah singkatan dari dua kata yaitu Gagal Total.

Penamaan ini diambil dari seringnya kegagalan panen beras karena kondisi cuaca dan berefek pada beralihnya konsumsi nasi ke hasil olahan singkong tersebut. Gatot sendiri adalah hasil dari fermentasi selama tiga hari dari singkong kering. Di Gunungkidul, biasa dikomsumsi bersama sayuran serta lauk.

Gaplek Geprek


Acara mencicipi suguhan khas dusun Kemuning. Doc:Riana Dewie

"Jadi Gaplek Geprek itu nama merk? Bukannya memang Gatot terbuat dari gaplek?" Pertanyaan kedua diiringi kunyahan dua iris makanan berwarna hitam, coklat muda serta putih taburan parutan kelapa. "Iya, bahan utamanya gaplek, kami imbuhkan kata geprek karena singkongnya digeprek sebelum diolah".

"Ohh, untuk membedakan hasil olahan Gatot dari daerah lain ya?"  Pertanyaan yang terahkir sebelum sibuk menerima segelas Wedang Secang dari pria yang sama. Saya lupa menanyakan namanya karena acara sambutan dari pemangku jabatan dusun Kemuning Pathuk akan segera dimulai.

Homemade

Pria berlurik hijau dengan ikat kepala sama dengan pria yang menyodorkan Gatot tadi, berdiri di tengah kami. "Geplek Geprek yang mas, dan mba nikmati saat ini merupakan hasil tangan para ibu-ibu kampung sendiri. Bagaimana rasanya? Econopo eco?"

Derai tawa menyusul pernyataan, dan pertanyaan dari Suhardi selaku dukuh dusun Kemuning.  "Eco sanget pak!" Kami menjawab dengan tetap mengunyah Gatot yang terasa lebih enak dari yang saya dapati di kota. Empuk singkong disusul legit yang tidak membuat ngilu, membuat ingin terus dilahap.

Menaikan nilai jual

"Nanti bisa langsung melihat aktifitas ibu-ibu yang tergabung di UMKM kampung. Bisa langsung memesan bahan baku maupun yang matang". Penyataan yang membuat saya berhenti sejenak meneguk Wedang Secang hangat. Saya selalu tertarik dengan aktifitas pemberdayaan perempuan secara positif.

"UMKM kami bukan hanya memproduksi Geprek Gaplek saja, namun juga Banana Roll, Lempeng Singkong  serta Jenang Paster. Kenapa kami mengolahnya menjadi berbagi macam camilan? Tentu agar nilai jualnya naik, karena sebelum ada UMKM semua bahan baku tersebut hanya bisa terjual murah sekali."

Anggota UMKM Kampung Kemuning

Wawancara singkat tentang produk. Doc:Riana Dewie

"Sekali mengolah berapa kilo bu?" Kali ini saya bertanya pada seorang ibu berhijab kuning yang sibuk melayani pesanan kami, sedangkan jemari kanan saya juga sibuk memegang tiga lembar Lempeng Singkong.  "Tergantung pesanan mba. Bisa sampai tiga karung goni."

"Ini ibu-ibu semua yang mengolah? Sedari  sampai di sentra ini, kok saya belum melihat para bapak ya." Jemari saya kembali meraih lembaran Lempeng Singkong. "Bapak-bapak mengurus pengadaan bahan baku mba. Para ibu berkumpul di rumah ini setelah bahan baku lengkap."

Menerima pengiriman via kurir

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline