Jari jemari dengan lapisan sarung tangan bening mulai mengambil kumpulan daging sapi bagian has dalam yang sudah digiling kasar. Diletakannya sejumput di tengah telapak tangan kiri, juga sudah dilapisi sarung tangan bening. Ibu membelinya di toko peralatan memasak, dan siang itu aku yang mengenakannya demi Bistik Jawa.
Sebenarnya sedikit rancu jika disebut Bistik Jawa, karena seharusnya berupa lembaran daging sapi bagian has dalam yang matang dengan bumbu Bistik Jawa. Keluarga kami memilih membuat bistik dengan bentuk bulatan dengan pemikiran akan lebih mudah, dan cepat dimakan. Maklum pada waktu itu saya masih berusia enam tahun, dan sedikit susah disuruh makan. Setelah ibu menukarkan tiket ke surga terlebih dahulu, maka sekian lama juga tidak ada menu Bistik Jawa yang saya nikmati. Bisa saja saya membelinya di restoran ataupun membuatnya di dapur rumah, ibu sudah menuliskan setumpuk resep semenjak saya lahir. Urung saya buka, entah kenapa.
"Bistik Jawa," saya sedikit tertegun saat mas Ardhi Widjaya menyebutkan menu yang ada saat berkunjung di salah satu caf di mall bagian bagian utara Ring. Benar bercorak vintage, dengan asesoris jaman ibu saya telah menjadi bagian dari interior caf yang berada di lantai GF. Saya tidak menyangka akan menjumpai menu tersebut, dan langsung menganggukan kepala saat ditawari mencicipi Bistik Jawa.
Jika anda mengenal menu Selat Solo maka Bistik Jawa adalah nama lain dari hidangan yang senada dengan menu Steak. Hidangan Bistik Jawa sendiri memang adaptasi dari menu Steak dari Eropa. Permulaan adaptasi terjadi pada waktu penjajahan kolonial Belanda, yang membawa serta tehnik memasak dengan bahan tertentu. Steak dikenal sebagai hidangan khusus masyarakat kelas atas Hindia Belanda dan para kaum terdidik yang bisa menikmatinya. Oleh karena itu hadirnya Bistik Jawa bukan hanya persoalan cita rasa yang baru.
Surakarta menjadi kota dimana penciptaan Bistik Jawa dimulai, dengan penggunaan mayoness, kentang goreng, dan daun selada tetap dipertahankan. Penggunaan kecap manis merupakan unsur penyesuaian dengan selera Jawa. Hal ini ditemui juga di caf yang membuat saya merasa kembali ke masa kecil saat interior menampilkan kembali pernak-pernik masa lalu.
Kuah manis sedikit encer dengan rempah yang menetap langsung saat menyentuh lidah, saya memang selalu menyedok kecil terlebih dahulu kuah sebuah hidangan. Kuah adalah salah satu penanda pertama tentang citarasa bagian hidangan dalam satu piring. Kayu Manis, Pala, Cengkih menjadi satu dalam aroma tumisan bawang merah, bawang putih dan bawang Bombay. Tentu saat sudah siap diantarkan kepada pelanggan, Bistik Jawa disajikan dengan kuah yang bersih dan bewarna coklat kecap.
Potongan kentang goreng berdampingan rapi dengan ruas-ruas buncis rebus, juga berseberangan dengan tumpukan wortel rebus yang memanjang. Brokoli yang juga direbus, meninggalkan rasa manis namun segar tanpa terlalu lunak. Kombinasi warna antara semua sayuran tersebut juga indah ditatap.
Semua mudah dinikmati tanpa harus mengunyah lama, dengan rasa alami masih tetap tertinggal. Berhubung saya tidak menyukai daun selada maka masih terbaring manis di piring bersama pisau dan garpu makan. Bistik Jawa dituang bersama kuahnya tepat di tengah sayuran tersebut hingga memudahkan garpu untuk bersentuhan. Telur rebus yang sudah dibelah, menjadi sajian bewarna kuning menarik di antara kombinasi sayuran dan Bistik. Saya merasa pisau yang menjadi teman garpu sia-sia walau memang standart dihadirkan saat menikmati Bistik Jawa. Daging dan sayuran mudah dinikmati.
Lagu Bosanova Jawa membuat saya enggan beranjak dari sofa yang memang nyaman. Meja berbentuk segitiga maupun segi empat memanjang, dengan mudah ditemukan di selasar caf. Oya GM Coffee&Lounge sendiri mudah dijangkau karena terletak di lantai pertama saat anda masuk ke Mall Hartono menggunakan mobil. Jika anda menggunakan motor, maka lantai GF ada di lantai selanjutnya dari parkir motor. Oya selain menu Bistik Jawa, tentu ada menu Indonesia authentic senada juga tersaji. Sebut saja Rawon, Sup Buntut, Teh Tubruk, Tongseng Kadipaten, Coto Makasar, Nasi Samber Nyowo dan sebagainya.
Ahkir kata, saya senang ada caf yang mengangkat Indonesia authentic di pusat perbelanjaan yang sering diasumsikan bercitarasa luar negeri. Sebuah langkah pengenalan dan pelestarian citarasa kuliner nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H