Keringat seperti tak lelah menempel di hidung, dan kening saya, walau udara yang bergerak bebas mengelilingi. Bu Sumilah tersenyum simpul saat saya meraih botol air mineral, dan liontin sejenak berhenti terbentuk. Saya memang pertama kali mencoba membuat kerajinan perak Filligree.
Saya duduk di bangku dengan meja sederhana yang sudah lengkap dengan lempengan khusus, gunting, pinset serta gambar pola asesoris. Saya memilih untuk merangkai liontin, karena cincin perak sudah tersemat di jemari. Pola yang saya pilih juga yang paling sederhana, dan sepertinya dalam hitungan menit akan selesai. Ternyata perkiraan saya benar dengan tambahan banyak menit tentu saja.
Pinset berukuran besar serta panjang, menjadi senjata untuk meliukan ujung kawat perak menjadi lingkaran layaknya spiral padat tanpa sela. Gunting diperlukan untuk memisahkan pangkal kawat perak bila sudah membentuk pola yang diinginkan.
Ujung telunjuk jari kiri saya harus mengambang namun tak boleh melepaskan lingkaran yang saya rangkai. Pertemuan ibu jari dan telunjuk tangan kanan saya akan dipergunakan untuk bergerak memutar. Tentu hingga kawat perak melingkar sempurna. Perak murni 99,9 % yang sudah dilebur dengan tembaga murni, dan berbentuk batangan sudah dirubah menjadi gulungan kawat perak. Yang saya pegang mempunyai diameter 0,2 cm dengan tekstur yang mirip tali namun lebih halus. Ketebalan kawat perak sendiri tergantung jenis asesoris atau kerajinan yang akan dibuat.
Awalnya saya harus membuat satu spiral besar yang menjadi acuan utama sebelum bisa merangkai dua spiral kecil di antaranya. Saya tak sempat menaruh perhatian pada angka di jam tangan, namun pasti akan banyak waktu yang saya perlukan jika bu Sumilah tidak memberi bantuan dengan sigap.
Dengan senang hati, wanita berusia 40 tahun dengan dua putra, bercerita tentang proses memulai keahlian merangkai kerajinan perak. Dengan tujuh tahun berpengalaman membuat asesoris perak, maka tak mengherankan dalam sehari bisa merangkai 50 liontin perak. Saya sampai termangu-mangu seraya kembali meneguk air mineral.
Setengah jam sebelum jemari berkutat dengan kerangka perak tebal yang menempel di kertas tipis, saya menjumpai mbak Lulu di tempat belajar pada pukul 09.05 WIB. Kotagede memang terkenal dengan pusat kerajinan perak, dan saya beruntung bisa berada di tempat yang tepat dengan pengrajin yang ramah. Lokasi workshop sendiri hanya berselang lima menit bila melangkah dari restoran Omah Duwur. Memang dua tempat tersebut dinaungi satu pemilik yang perhatian dengan seni serta budaya Jawa.
Di ruang workshop perak yang atapnya terlapiskan genteng tanah liat asli, sudah duduk rapi para pengrajin dengan seragam khusus. Deretan meja kayu di bagian barat khusus ditempati oleh pengrajin wanita, sedangkan di sebelah timur di tempati oleh pengrajin pria. Masing-masing meja mempunyai rak tersendiri untuk menyimpan peralatan. Saya teringat foto ala hitam putih ayah saat masih belajar di Sekolah Rakyat. Bangku yang dipakai hampir sama.
Meja perajin pria sendiri dilengkapi dengan las tersambungkan pompa angin digerakan dengan injakan telapak kaki. Mekanisme sederhana namun diperlukan koordinasi yang selaras. Yang diperlukan selain ketelitian, adalah intuisi dari pengrajin sendiri.
Pengrajin pertama khusus mengubah lembaran perak batangan menjadi gulungan kawat perak halus. Alat press, draw plate (alat dari besi yang mengatur diameter kawat yang diinginkan) menjadi dua piranti sebelum pemintalan kawat bisa dimulai. Roda pemintal saya perhatikan memutar dengan pelan tapi pasti, dan sebatang kayu menjadi penghujung dari pergerakan tersebut.
Dari kawat perak halus yang sudah terbentang, maka para pengrajin wanita yang hari itu menggunakan jilbab merah mulai melakukan pengisian pada kerangka. Sebagai informasi usaha kerajinan perak yang sudah berdiri sejak tahun 1954 ini, merekrut 150 perajin di wilayah DIY dan 50 perajin di luar wilayah DIY. Liontin yang saya kerjakan hanyalah satu dari 100 kg kapasitas produksi yang dihasilkan.