Jari jemari saya sontak berwarna serupa isi plastik bening yang masih setengah isi. Di hadapan saya sudah tersaji dua lembaran adonan yang sudah tergilas, namun entah kenapa belum kunjung tipis. Tepung, dan peluh saya sudah tak terhitung minta diseka dari kening. Saya menyukai mie goreng, namun saat membuat bahan baku mie, ternyata tak semudah menikmatinya.
Saya bisa membayangkan berapa juta detik yang dihabiskan koki untuk membuat adonan mie yang tepat. Tentu pembuatan mie yang tradisional, seperti yang sudah saya coba buat walaupun ahkirnya menjadi adonan Bakwan Goreng. Saya memang harus membeli Mie Ramen yang sudah siap dilahap ternyata.
Seperti seorang samurai yang harus belajar memakai pedang kayu pada tahun pertamanya, demikian juga saat belajar menjadi koki kuliner khas Jepang. Saya pernah melihat drama Jepang tentang perjuangan koki Sushi yang terkenal pada ahkirnya. Pelajaran pertamanya hanyalah mengolah beras menjadi nasi yang terenak sampai ahkir tahun. Saya melihat banyak nilai filosofi yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum berhak menyandang status koki.
Mie Ramen terutama yang asli buatan tangan juga memerlukan waktu, dan campuran khusus untuk bisa mencapai cita rasa yang sempurna. Mungkin itu juga yang menjadi pertimbangan David Cahyanto setelah selesai menjalani program pertukaran pelajar di Jepang. Dan Nagoya Fusion Restourant yang berdiri sejak 8 Mei 2010, menjadi salah satu bukti kecintaan serta kejelian akan bisnis ramen.
Gakusei Ryori atau masakan pelajar adalah nama lain dari Ramen, karena memang harganya terjangkau namun mengenyangkan. Demikian juga menu lain yang saya dapati di meja berderet pada tanggal 12 Agustus 2017. Kisaran harga pada angka 17-22 ribu menjadikan Nagoya Fusion Restourant di Jl. Prof Dr. Sarjito No.11 Yogyakarta cepat dipenuhi pengunjung.
Yasai Ramen menjadi pilihan saya pertama, saat Naruto versi Nagoya Fusion Restourant menanyakan menu makan sore. Disajikan dalam bentuk goreng, dan karena akan dilimpahi bakso, dan aneka sayuran di atasnya menjadi pertimbangan. Hanya saja berharap kalau level 1 kepedasan Yasai Ramen tidak akan membuat Es Ocha yang saya teguk harus ditambah lagi.
Berbekal sumpit hitam di tangan, maka suapan pertama langsung menghadirkan sejemput mie kuning kecoklatan ke permukaan indera pencicip saya. Saya serta merta melambaikan tangan untuk memesan segelas Es Teh manis. Hidung saya berpeluh, dan anda pasti tahu apa artinya. Berhubung cocok dengan citarasa yang tertinggal, maka Yasai Ramen tetap saya santap lengkap dengan toppingnya.
Sebelumnya saya memang sudah bersin beberapa kali sejak mulai duduk. Dijamin anda juga bisa langsung bersin karena aroma cabe rawit bubuk yang diolah sendiri di dapur Nagoya Fusion Restourant. Ada 10 level yang tersedia, dengan perhitungan satu level sama dengan 1 sendok teh cabe giling. Silahkan dipilih sesuai kebutuhan anda.
Sebagai tambahan informasi, Nagoya Fusion Restourant sudah ada sembilan cabang yang tersebar di Indonesia, dan terus membuka kesempatan untuk mitra baru. Oleh karena bolehlah saya menyebut bisnis dengan modal kecintaan semangkuk ramen ini sebagai kisah sukses.
Sebenarnya bagaimana langkah jitu yang dilakukan lulusan program pertukaran pelajar ini agar sukses? Beberapa tips saya dapatkan saat wawancara singkat sebelum sajian khas Nagoya Fusion Restourant di sajikan:
* Rasa cinta