Badan saya menghangat saat satu potong Tharid berhasil menghampiri indera pencecap. Aha, memang olahan daging selalu memberikan efek yang saya harapkan, dan sukai. Maklum, tekanan saya darah termasuk rendah, maka kuliner berbahan daging kambing selalu menjadi incaran. Saya memang beruntung mendapat undangan makan malam pada Sahara Middle East Food Festival dari Swiss Café Belhotel.
Sekilas Tharid berpenampilan mirip bistik berukuran 3 cm x 3 cm, dan begitulah yang saya pikirkan pertama saat melihatnya. Limpahan Kentang Kecil yang memang berukuran kecil semakin membuat saya penasaran untuk mencoba Tharid. Kentang Kecil yang kuning keemasan memberi perpaduan warna yang menarik menurut saya, dan ternyata empuk namun tidak hancur saat disentuh gigi. Sejauh yang saya tahu, salah satu kuliner benua Arab tersebut, terdiri dari perpaduan Chapati ( roti khas Arab), dan potongan Tharid dengan lumuran Lada Hitam. Bumbu yang kental khas kuliner benua Arab terasa lebih lembut saat saya mencicipi Tharid. Jika susunan bahan diganti, maka tentu untuk menyesuaikan dengan selera Indonesia. Sama seperti yang Chef Satrio Sulistiono utarakan saat perbincangan singkat.
Jika Bistik berpenampilan coklat, maka Tharid di meja buffet tersebut, lebih condong abu kehitaman, sudah pasti karena penggunaan bahan Lada Hitam serta Ketumbar. Olahan daging kambing dengan mudah dinikmati, tentu tanpa bantuan pisau makan yang tersedia. Daging kambing memang membutuhkan perlakuan khusus agar sesuai harapan, dan syukurlah tidak berbau sama sekali.
Godaan kedua dari hidangan Buffet yang bisa dinikmati setelah penampilan tarian Belly Dance adalah Kufteh. Bola-bola daging sapi kecoklatan berbumbu pala, dan merica dengan siraman saos tomat alami, membuat tiga di antaranya berpindah cepat ke piring saya. Ukuran yang sebesar tiga gundu menemani puluhan butir Shirih Polo, yang sekilas mirip Nasi Kuning di menu kuliner Asia. Baru pertama kali saya merasakan kombinasi nasi dengan Almond, dan ternyata kuliner Persia tersebut sedap.
Kufteh sendiri bisa terbuat dari berbagai bahan lain, misalnya campuran nasi dengan daging sapi giling tanpa lemak, berbumbu khusus serta berkuah kare kental. Kufteh demikian biasanya dinikmati warga Iran sebagai kuliner khas, saat merayakan hari Sezdah Bedar atau hari Alam yang diperingati secara turun temurun. Sekali, perubahan bahan dasar tentu atas pertimbangan penyesuaian selera Indonesia.
Selain dua godaan yang menarik perhatian saya tersebut, tentu saja kesempatan mencicipi kuliner khas Negara Sahara lain sama sekali tak terlewatkan. Falafel yang mirip Bakwan Daging tepung berbumbu merica juga saya jemput. Tak lupa bergandengan dengan Batata Barral dan Fish Harah yang tersaji lengkap dengan saos. Andai saja semua menu tersebut boleh di take away, sungguh keberuntungan berganda dalam satu malam.
Pisang Turki yang padat berisi dan coklat matang, masuk dalam daftar dessert saya. Tak lupa Tahiri Bukeges yang manis, berbentuk lucu dan berwarna memikat. Babaqhahous yang berwarna abu-abu, sebenarnya menu utama, namun berhubung saya menikmati setelah terpisah dari piring utama, maka disebutlah desert. Babaqhahous sendiri membutuhkan Roti Pita untuk menyedoknya juga terambil untuk memuaskan rasa penasaran, ternyata seperti bubur Terung segar
Swiss-Belhotel Yogyakarta memang selalu berhasil dengan cara khusus untuk memanjakan tamu. Tema Food festival yang berbeda setiap minggunya tentu membutuhkan persiapan, dan keahlian dari chef. Begitu juga dengan tampilan tarian khas yang sesuai dengan tema, contohnya adalah Belly Dance yang memang menarik perhatian para tamu. Saya semakin tak sabar menikmati godaan dari makan malam tematis dari hotel terbaik di pusat kota Yogyakarta tersebut selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H