Lihat ke Halaman Asli

Review Skripsi yang Berjudul Kesetaraan Gender dalam Perubahan Batas Usia Perkawinan (Perspektif Pemikiran Mansour Fakih)

Diperbarui: 3 Juni 2024   16:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Kesetaraan Gender dalam Perubahan Batas Usia Perkawinan (Perspektif Pemikiran Mansour Fakih)
Vigita Arti Diva Nata
222121133
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia

Pendahuluan
     Skripsi yang berjudul " Kesetaraan Gender dalam Perubahan Batas Usia Perkawinan (Perspektif Pemikiran Mansour Fakih)" dalam skripsi tersebut terdapat pembahasan yang sangat menarik mengenai perubahan batas usia perkawinan untuk perempuan yang awalnya 16 tahun menjadi 19 tahun yang dimana hal tersebut telah sesuai dan disahkan dalam Pasal 7 Ayat (1) UU No. 16 Tahun 2019. Pernikahan adalah sebuah anugerah, namun dalam pernikahan kita harus memahami bahwa rendahnya batas usia untuk perempuan dapat mengakibatkan ketidak adilan dalam kesetaraan gender. Sehingga perlu adanya perubahan dalam hal tersebut. Penulis skripsi mengambil pemikiran dari Mansour Fakih untuk dapat mengetahui bagaimana transformasi sosial yang telah terjadi saat ini. Mansour Fakih merupakan seorang aktivis gender beliau telah lama menyoroti segala isu kesetaraan gender dari tahun 1953-2004. Tujuan dari Mansour Fakih dalam upayanya menaikkan batas usia perkawinan perempuan bila dilihat dari perspektifnya mengenai kesetaraan gender dianggap sebagai sebuah transformasi sosial bertujuan mengangkat "martabat perempuan". Hasil dari penelitian sang penulis skripsi ini menunjukkan bahwa kesetaraan gender perspektif pemikiran Mansour Fakih bila dikaitkan dengan perubahan batas usia perkawinan merupakan konsep transformasi sosial yang diperoleh perempuan untuk kembali menerima hak-haknya. Mansour menekankan bahwa ketidakadilan gender merupakan perbuatan nirkemanusiaan yang halus.
Keyword: batas usia perkawinan; kesetaraan gender; transformasi sosial

Alasan Memilih Judul Skripsi
     Karena penulis merasa tema yang diangkat dalam skripsi "Kesetaraan Gender dalam Perubahan Batas Usia Perkawinan (Perspektif Pemikiran Mansour Fakih)" sangat menarik dan sesuai dengan tema yang diminta dalam penugasan review skripsi ini. Terdapat pembahasan yang sangat menarik dalam skripsi ini mengenai perubahan batas usia perkawinan yang dimana akibat dari perubahan tersebut dapat menimbulkan dampak positif yang sangat besar terhadap transformasi sosial untuk perempuan. Selain itu dengan adanya perubahan aturan UU yang semula perempuan boleh menikah usia 16 tahun lalu di rubah menjadi 19 tahun dapat mengangkat status perempuan dan kesetaraan perempuan dengan laki-laki, sehingga tidak ada lagi deskriminasi terhadap perempuan.

Pembahasan
Bab I
Pendahuluan
     Latar belakang dalam skripsi ini mengkaji mengenai keseteraan gender yang dimana hal tersebut dapat terlihat dari batas usia perkawinan khususnya perempuan. Batas usia perkawinan pada awalnya 16 th untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Hal tersebut menyebabkan ketidak setaraan gender. Bukan hanya mengenai batas usia perkawinan saja namun terdapat diskriminasi juga dalam hal tersebut karena dalam UU batas usia anak adalah 17 tahun. Sehingga dari hal tersebut dapat terlihat bahwasannya batas usia perkawinan 16 th untuk perempuan merupakan hal yang bertentangan dengan konstitusi bukan hanya itu terdapat banyak sekali dampak negatif dari perkawinan perempuan diusia 16 tahun ini seperti rentan terjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), bagi perempuan berisiko mendatangkan masalah saat persalinan, terjadinya diskriminasi, dan masih banyak lagi. Oleh sebab itu DPR mengesankan peraturan yang baru pasal 7 ayat 1 UU no.16 tahun 2019.
     Dalam skripsi ini penulis menggunakan pemikiran Mansour Fakih yang menawarkan konsep penting dalam bersosial melalui kesetaraan antara laki-laki dan perempuan melalui analisis gendernya. Mansour Fakih adalah seorang aktivis yang bergerak di bidang sosial, bukan hanya itu sosoknya juga merupakan seorang pemerhati persoalan perempuan. Perspektif pemikiran Mansour Fakih mengenai kesetaraan gender dalam perubahan batas usia perkawinan. Secara tidak langsung, berbagai gagasan dan pemikiran Mansour Fakih terhadap isu-isu transformasi sosial ini merupakan perlawanan atas hegemoni yang merendahkan perempuan.
Tujuan penulis skripsi ini ialah Mengetahui konteks historis, sosiologis, dan tujuan perubahan batas usia perkawinan, dan mengetahui perubahan batas usia perkawinan tersebut ditinjau dari perspektif pemikiran Mansour Fakih.
Kerangka teori yang di gunakan dalam skripsi ini menyangkut mengenai gender dan transformasi. Dalam pembahasan tersebut terdapat berbagai pemaparan mengenai kesetaraan gender serta perubahan atas batasan usia perkawinan yang merupakan salah satu bagian kecil dari transformas sosial. Bukan rahasia umum lagi pemikiran seseorang yang mencampur adukkan antara kodrat dan gender merupakan hal biasa, yang dimana keberadaan keduanya adalah hal yang sangat berbeda.
     Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini ialah metode kualitatif. Peneliti menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Data yang dikumpulkan dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang ber hubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian seperti skripsi, tesis, dan disertasi, dan peraturan perundang-undangan, serta tulisan Mansour Fakih dan tulisan yang membahas pemikiran Mansour Fakih mengenai kesetaraan gender. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dokumentasi dan studi dokumenter. Teknik analisis yang digunakan oleh peneliti ialah model analisis isi (Content Analysis).

Bab II
TINJAUAN UMUM TENTANG KESETARAAN GENDER PERSPEKTIF PEMIKIRAN MANSOUR FAKIH
A. Kesetaraan Gender
1. Pengertian kesetaraan gender
     Gender dalam KBBI edisi V diartikan sebagai jenis kelamin (seks). Gender dapat diartikan sebagai suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial, kultural, dan hubungan sosial yang bervariasi dan sangat bergantung pada faktor-faktor budaya, agama, sejarah, dan ekonomi. Gender berasal dari bahasa inggris yang berarti pemahaman sosial budaya mengenai cara berprilaku laki-laki dan perempuan. Secara sederhana, konsep gender yang dijelaskan Mansour Fakih ialah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Maka dari itu gender dengan jenis kelamin (seks) adalah dua hal yang sangat berbeda. Seks adalah ciri biologis yang berlaku secara universal dan mengikat seumur hidup sedangkan gender adalah suatu sifat perilaku yang terbentuk karena aspek sosial budaya yang sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
2. Konsep kesetaraan gender
     Perbedaan gender yang ada pada saat ini harus dimaknai sebagai produk kebudayaan. Namun, gender tidak harus serta merta dimaknai sebagai kesetaraan atau keadilan karena kehadiran gender ini akan melahirkan sebuah peran gender, hal tersebut nantinya pasti akan menimbulkan manfaat dan masalah. Konsep gender pada dasarnya adalah sifat atau perilaku yang seharusnya bisa di lakukan oleh laki-laki ataupun perempuan sehingga tidak menimbulkan pemikiran bahwa hal tersebut menjadi kewajiban yang melekat pada diri baik kepada laki-laki ataupun perempuan. Hal tersebut sering sekali dimaknai keliru oleh masyarakat.
Maka dari "perbedaan gender" ,menurut Mansour Fakih, ternyata banyak ditemukan sebagai manifestasi ketidakadilan seperti; marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban ganda. Apabila manifestasi tersebut dibiarkan begitu saja dan dianggap lumrah oleh masyarakat maka lambat laun tidak menutup kemungkinan bahwa peran gender seolah-olah adalah kodrat. Kesetaraan gender dan keadilan gender adalah dua hal yang berbeda dimana definisi dari keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
3. Faktor penyebab ketidak setaraan gender
     Konsep sosial dan budaya yang melekat pada setiap orang sebenarnya menimbulkan banyak sekali ketidak adilan dalam gender. Hal ini dapat menjadi pemicu ketidak adilan antara laki-laki dan perempuan, dalam hal ini pihak yang dirugikan adalah kaum perempuan. Ketidaksetaraan gender bisa disebabkan antara lain oleh mitos yang diyakini secara turun-temurun di masyarakat. Mitos yang diyakini seperti oleh kebanyakan masyarakat seperti "wong wadon nggone nang pawon" (perempuan tempatnya di dapur). Ungkapan tersebut selalu dijadikan pegangan setiap orang tua untuk tidak menyekolahkan anak perempuan tinggi-tinggi, karena mereka tahu anakperempuannya akan menikah dan hanya berurusan dengan dapur.
4. Fenomena gender dalam masyarakat
     Fenomena gender memang tidak terlepas dari kebudayaan yang dianut oleh masyarakat tertentu sehingga menimbulkan ketidak adilan antara laki-laki dan perempuan. Gender adalah produk hasil kebudayaan atau akulturasi. Seperti yang telah dijelaskan mengenai mitos diatas yang membuat hal tersebut seolah-olah menjadi kodrat perempuan. Bukan hanya itu saja contoh lainnya seperti sebuah tafsir agama yang keliru mengatakan bahwa perempuan hanya berkewajiban mengurus rumah dan anak. Oleh sebab itu maka perlu ada sebuah penyadaran mengenai pemahaman-pemahaman kesetaraan gender seiring tumbuhnya fenomena-fenomena tersebut. Tujuannya agar ada penyeimbang pemahamaan atas fenomena tersebut.
B. Kesetaraan Gender Perspektif          Pemikiran Mansour Fakih
     Pemikiran Mansour Fakih mengenai gender bisa dibaca dalam buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial (1996) dan beberapa tulisan jurnalnya. Mansour menyoroti Segala ungkapan permasalah yang terekspos mengenai perempuan dengan memakai analisis gender yang sering dihadapkan pada perlawanan, baik dari kalangan kaum laki-laki maupun kaum perempuan sendiri. Dari analisis gender yang dia dapat, Mansour memiliki identifikasi sebagai berikut Pertama, mempertanyakan status perempuan yang pada dasarnya sama saja dengan mempertanyakan sistem dan struktur yang telah ada. Dengan demikian, mempertanyakan status perempuan berarti sama dengan berusaha merubah struktur dan sistem status quo ketidakadilan tertua dalam masyarkat. Kedua, banyak didapati kesalahpahaman mengenai mengapa persoalan mengenai perempuan harus dipertanyakan. Dengan membahas persoalan perempuan otomatis berusaha mengganggu privilege yang tengah dinikmati saat ini.
Persoalan mendasar dalam pembahasan gender dimulai ketika suatu proses panjang yang memunculkan sebuah perbedaan gender yang dimana hal tersebut dapat menimbulkan ketimpangan sosial. Ketimpangan sosial yang dimaksud oleh Mansour Fakih ialah ketidak setaraan gender  dan ketidak adilan yang lebih banyak merugikan kaum perempuan. Ketidak setaraan dan ketidak adilan tersebut membuat perbedaan-perbedaan yang timbul karena adanya disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara.
     Mansour Fakih merefleksikan bahwa awal mulanya perbedaan gender tidak perlu digugat karena sudah menjadi sebuah kelumrahan/kebiasaan kultur sosial masyarakat. Perbedaan gender perlu digugat apabila perbedaan gender ini membuat sebuah sistem ketidakadilan terhadap salah satu pihak, terutama pihak perempuan. Maka dari itu perlu adanya kesetaraan gender yang harus didapat.
Menurut Mansour Fakih, gender sebagai alat analisis umumnya dipergunakan oleh penganut aliran ilmu sosial konflik, yang memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural dan sistem yang disebabkan oleh gender. Maka analisis ini secara tidak langsung berusaha untuk merubah berbagai struktur ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran dan perbedaan gender. Dalam bukunya Mansour Fakih menjelaskan mengenai manifestasi ketidakadilan, bukunya berjudul Analisis Gender & Transformasi Sosial (2020) dengan uraian sebagai berikut:19
     Pertama, marginalisasi merupakan proses yang bisa mengakibatkan sebuah masyarakat baik laki-laki maupun perempuan akan sebuah kemiskinan. Menurut Mansour Fakih marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi semenjak kecil bahkan berasal dari keluarganya sendiri.
     Kedua, subordinasi, adalah penomorduaan salah satu jenis kelamin yang disebabkan karena gender. Anggapan perempuan tidak dapat dijadikan pemimpin karena pemikiran yang tidak rasional atau emosional.
     Ketiga, stereotipe, adalah penandaan suatu kelompok tertentu atas kelompok lainnya. Menurut Mansour Fakih stereotipe ini sangat merugikan bagi pihak manapun. Contoh dari stereotipe ini ialah wanita yang memakai make up menandakan bahwa ia ingin menggoda lawan jenis.
     Keempat, kekerasan, adalah seranga atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Menurut Mansour Fakih kekerasan bisa datang dari berbagai sumber salah satunya jenis kelamin. Adanya satu jenis kelamin yang merasa superior membuat satu jenis kelamin lainnya merasa inferior.
Kelima, beban ganda. Asumsi masyarakat mengenai kaum perempuan yang mempunyai sifat memelihara, telaten, dan rajin dalam mengurus segala persoalan rumah tangga, menjadi alasan bahwa segala urusan rumah tangga menjadi tanggung jawabnya. Namun sering kali perempuan juga bekerja, hal itu dapat menjadi penyebab beban ganda terhadap perempuan. Sejatinya segala hal yang umum itu dapat dilakukan dan di kerjakan baik oleh laki-laki ataupun perempuan tidak ada yang namanya"pekerjaan perempuan" atau "pekerjaan laki-laki", hanya kodrat saja yang tidak bisa digantikan karena hal tersebut berasal dari Tuhan. Seperti kodratnya perempuan adalah melahirkan, mens, mengandung, dan menyusui hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh laki-laki.

Bab III
GAMBARAN UMUM TENTANG BATAS USIA PERKAWINANA.
A. Batas Usia Perkawinan Menurut Hukum Positif
     Perubahan terhadap sistem hukum akan terus terjadi dan tidak dapat dihindari. Hal tersebut dikarenakan tujuan hukum adalah penyesuaian atas segala lika-liku perubahan sosial dan kebutuhan masyarakat pada saat itu. Menetapkan ketentuan hukum sebagai jawaban atas segala persoalan sosial yang terjadi setidaknya harus memenuhi dua unsur. Pertama, bahwasanya hukum harus menetapkan peraturan terhadap suatu hal yang belum ada ketentuan hukumnya. Kedua, hukum yang sudah tidak relevan pada masa tersebut. Maksud dari hal tersebut adalah bahwa hukum harus mengikuti perkembangan zaman, hukum yang sudah tidak relevan atau sudah tidak rasional pada zaman atau masa tersebut harus digantikan dengan hukum yang baru.
     Hukum keluarga erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Indonesia. Perkembangan sains dan teknologi yang sangat pesat melatarbelakangi sebuah pembaharuan hukum, khusunya hukum keluarga.
     Indonesia bukanlah negara Islam namun mayoritas warga negara Indonesia beragama Islam. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi transformasi hukum Islam dan hukum keluarga di Indonesia. Secara garis besar, pembaruan hukum Islam yang terjadi di Indonesia ini terjadi akibat dari IPTEK, pengaruh globalisasi, ketakutan akan kekosongan hukum,dan perubahan pemikiran. Tujuan dari tranformasi hukum ini salah satunya ialah mengangkat status perempuan. Isu krusial dalam hukum keluarga yang harus diperbaharui, satu di antaranya adalah batas usia minimal perkawinan.
Sebagi tujuan pengangkatan status perempuan, terlihat bahwa materi hukum yang disahkan oleh Undang-undang merespon sejumlah tuntutan pengangkatan status perempuan dan kedudukan perempuan. Sebagian ajaran agama Islam yang mayoritas dianut oleh warga Indonesia dipercaya memiliki nilai yang sangat diyakini yaitu memuliakan perempuan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak pendapat yang mengatakan perempuan tidak dapat sejajar dengan laki-laki.
      Di Indonesia pembaruan undang-undang terjadi semenjak tahun 1990 yang melahirkan undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Faktor yang menjadi perubahan batas usia perkawinan bukan hanya pengangkatan status perempuan saja namun juga tuntutan zaman. Hukum perkawinan di Indonesia merupakan hal yang sangat penting sebagai telah disebutkan, diterangkan dalam undang-undang no.1 tahun 1974 bahwa pernikahan dianggap sah oleh negara apabila memenuhi persyaratan undang-undang. Maksud dari syarat tersebut adalah syarat yang harus di penuhi oleh masing-masing rukun mempelai.
     Membahas mengenai batas usia perkawinan, Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa pria sudah mencapai usia 19 tahun dan perempuan sudah mencapai usia 16 tahun. Mengenai batas usia perkawinan yang di sahkan oleh UU dianggap bentuk diskriminasi terhadap perempuan oleh karena itu pasal 7 digugat. Dalam pasal 7 ayat 1 menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara yang mengakui persamaan kedudukan, namun pada praktiknya unsur-unsur deskriminatif sering terjadi pada saat ini dan menciderai konstitusi yang bermuara pada hak asasi manusia.
     Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ketentuan minimal usia perkawinan yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan sesuai Pasal 15 ayat (1). Diperjelas dengan ayat (2) bahwa kedua calon pengantin yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua masing-masing karena dianggap belum mandiri secara hukum.
     Di Indonesia aturan batas usia perkawinan pada awalnya tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan rincian 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki telah diperbaharui dengan UU No.16 Tahun 2019 tentang Perkawinan dengan menyamaratakan usia minimal perkawinan laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Dengan begitu, perubahan batas usia perkawinan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ke Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menjadi sebuah acuan negara Indonesia meningkatkan status perempuan. Secara universal dengan dihapusnya UU No.1 tahun 1974 dapat mengurangi tingkat pernikahan dini. Apabila dilihat dari kesehatan juga memberikan manfaat untuk melindungi alat reproduksi perempuan.
B. Batas Usia Perkawinan Menurut Hukum Islam
     Dalam hukum Islam pembahasan mengenai perkawinan khusus fiqih tidak menyebutkan dengan jelas batas usia perkawinan, namun konsep akhil dan balik lekat dengan gambaran kedewasaan seseorang. Melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya dalam hukum Islam diatur dalam kecakapan hukum. Konsep ini menjelaskan bahwa seluruh perbuatan manusia dibingkai dengan batasan norma hukum tertentu, sehingga dapat memunculkan akibat hukum.
     Ulama fiqih tidak menetapkan batas usia perkawinan secara spesifik. Konsep mukalaf bukanlah syarat syahnya suatu perkawinan. Maka dari itu hukum Islam memandang laki-laki dan perempuan adalah sejajar. Secara usia laki-laki dan perempuan dianggap sudah dewasa apabila sudah berumur 15 tahun. Sedangkan secara biologis mereka dianggap dewasa apabila laki-laki sudah mengeluarkan sperma dan perempuan sudah mengeluarkan darah haid.
     Kemajuan zaman membuat hukum Islam harus diperbarui guna mengikuti perkembangan zaman namun tidak meninggalkan segala asas dan dasar hukum yang sebelumnya. Sudah seharusnya hukum Islam bersifat solutif atau memberi solusi dari berbagai persoalan yang dihadapi oleh penganutnya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa hukum Islam tidak mengatur secara spesifik batas usia perkawinan dan Islam tidak membedakan kedudukan laki-laki dan perempuan. Dalam hukum Islam apabila seseorang sudah mukalaf maka sudah di perbolehkan untuk menikah.

BAB IV
ANALISIS KESETARAAN GENDER DALAM PERUBAHAN BATAS USIA PERKAWINAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF PEMIKIRAN MANSOUR FAKIH
A. Konteks Historis, Sosiologis, dan Tujuan Perubahan Batas Usia Perkawi.   nan
     Indonesia adalah negara hukum. Hukum di Indonesia ini ada untuk menjaga dan mencegah terjadinya tindakan main hakim sendiri. Dengan demikian hal tersebut dapat membuat sebuah produk hukum yang akan terus mengalami pembaharuan dan perubahan untuk menyesuaikan dengan perkembangan sosial dimasyarakat.
     Hukum keluarga sangat erat kaitannya dengan unit masyarakat terkecil di suatu negara. Adanya perkembangan masyarakat yang didukung oleh kemajuan sains dan teknologi membuat pola dan perilaku aturan yang harus sejalan dengan perkembangan tersebut. Realitas sosial ini menuntut pembaharuan hukum keluarga khususnya di dunia Islam yang tujuannya ialah mengakomodasi perubahan kebutuhan aturan yang berkaitan dengan keluarga itu sendiri.
     Tujuan dari pembaharuan hukum Islam diantaranya yang pertama, mengantisipasi kekosongan hukum akibat norma-norma dalam kitab fiqih tidak mengaturnya. Kedua, pengaruh globalisasi dan IPTEK sehingga diperlukan aturan hukum yang mengaturnya. Ketiga, pengaruh reformasi berbagai bidang yang memberikan peluang terhadap hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional. Dan keempat, pengaruh pembaharuan pemikiran Islam yang digagas para mujtahid baik tingkat nasional maupun internasional. Dengan demikian bahwa salah satu isu krusial dalam hukum keluarga yang mengalami pembaharuan ialah batas usia perkawinan.
     Fitrah negara Indonesia yang tidak memisahkan masalah-masalah hukum dikemasyarakatan tidak mengenal pemisahan antara negara dan agama membuat hukum munakahat atau perkawinan tidak bisa berdiri sendiri, sehingga membutuhkan bantuan kekuasaan negara. Dengan demikian negara harus memiliki landasan yuridis terlebih dahulu, karena negaralah yang memiliki kekuasaan dan legalitas dalam hal tersebut.
     Sejalan dengan hal tersebut, sejak tahun 1947 negara telah menetapkan aturan dalam UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang dimana dalam UU tersebut dijelaskan dalam pasal 7 ayat 1 bahwa perempuan boleh menikah umur 16 tahun dan laki-laki umur 19 tahun. Secara tidak langsung negara memperbolehkan pernikahan usia dini untuk anak perempuan karena rendahnya batasan usia untuk perempuan dibandingkan laki-laki. Akibatnya pemenuhan hak-hak konstitusi, pendidikan,dan kesehatan anak perempuan menjadi terhambat.
     UU Perkawinan secara tegas mengatakan bahwa dasar dan cita-cita dari sebuah perkawinan adalah adanya suatu kesetaraan atau equality antara calon mempelai laki-laki dan perempuan dalam membangun rumah tangga dan mencapai kesejahteraan. Adanya pengajuan uji materi terhadap pasal 7 ayat 1 sejatinya mencita-citakan transformasi sosial untuk perempuan. Dengan demikian sudah seharusnya negara menghapuskan deskrimimasi terhadap perempuan dan negara harus memastikan keseteraan laki-laki dan perempuan mengenai hak-haknya dalam perkawinan.
     Dengan dikabulkannya uji materi UU no.1 tahun 1974 Pasal 7 ayat 1 tentang perkawinan membuat sebuah perubahan dalam hukum yang mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menaikkan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan dari 16 (enam belas) tahun menjadi 19 (sembilan belas) tahun, disamakan dengan batas usia laki-laki.
B. Analisis Kesetaraan Gender dalam Perubahan Batas Usia Perkawinan Di.   tinjau dari Perspektif Pemikiran Mansour Fakih
     Perspektif pemikiran Mansour Fakih mengenai kesetaraan gender dalam perubahan batas usia perkawinan. Membuat perubahan tersebut sejatinya perlahan mengubah asumsi, konsepsi, keyakinan, dan persepsi masyarakat tentang perempuan.
     Sebagai jawaban, penulis mencoba mengaitkan antara pemikiran Mansour Fakih berupa analisis-analisis gender dengan perspektif perubahan sosial mengenai produk hukum yakni undang-undang yang mengantur perubahan batas usia perkawinan perempuan semula 16 (enam belas)11 tahun menjadi 19 (sembilan belas) tahun. Dengan demikian terjadi perubahan peraturan tersebut dapat mengubah ketidakadilan gender yang telah terjadi selama ini dimasyarakat.
     Melalui analisis gender Mansour Fakih pada tahun 2020 yang pada inti pembahasan mengenai ketidakadilan gender yang telah terjadi ini sebenernya dari watak agama itu sendiri, pemahaman atau penafsiran dan pemikiran keagamaan yang tidak mustahil dipengaruhi oleh tradisi dan kultur.
     Perlu dipahami bahwa Islam telah melakukan perubahan dalam posisi perempuan. Yang dimana pada masa sebelum Islam ada perempuan dianggap sebagai kaum yang rendah, hingga pada saat Islam hadir kaum perempuan diangkat derajatnya sebagai kaum yang harus dimuliakan. Hal tersebut sesuai dengan Al Qur'an karena Al-Qur'an adalah tujuan bagi seluruh umat muslim yang dimana didalamnya dijelaskan bahwa laki-laki dan perempuan itu memiliki kedudukan yang sama.
     Batas usia perkawinan sangatlah penting dalam bahtera rumah tangga terutama untuk perempuan karena rendahnya usia perempuan dapat menimbulkan persoalan seperti marginalisasi (peminggiran) akibat pandangan gender.
     Marginalisas ini dapat terjadi terhadap perempuan dikarenakan tidak adanya kesiapan secara ekonomi, sosiologis dan psikologisnya. Batas usia yang sangat rendah untuk perempuan dapat menimbulkan peningkatan volume perkawinan. Dengan peningkatan batas usia perkawinan perempuan menjadi 19 tahun telah membuka kembali jalan bagi perempuan dalam menerima hak-haknya, pendidikan dan pengalaman.
     Dengan begitu, perubahan batas usia ini mencoba memberikan upaya keadilan dan kesetaraan gender bagi perempuan untuk bisa menerima segala keadilan-keadilan dan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia. Mansour Fakih menyimpulkan bahwa aspek transformasi sosial terhadap perempuan ialah berusaha memproduksi keadilan bagi perempuan itu sendiri.

Kesimpulan
Penetapan batas minimal usia perkawinan bagi laki-laki 19 (sembilan belas) tahun dan perempuan 16 (enam belas) tahun dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinilai bersifat diskriminatif. Sehingga implikasi akibatnya pada terampasnya hak konstitusi perempuan yang dijamin oleh negara seperti hak atas kesehatan, pendidikan, dan persamaan di mata hukum. Oleh sebab itu dengan adanya perubahan undang-undang pasal 7 ayat 1 dapat memberikan keadilan dan kesetaraan untuk perempuan.
Perubahan batas usia perkawinan untuk perempuan dari 16 (enam belas) tahun menjadi 19 (sembilan belas) tahun sesuai Pasal 7 Ayat (1) Undang-7475Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bila ditinjau dari perspektif pemikiran Mansour Fakih mengenai kesetaraan gender adalah berbanding lurus dengan upaya mengangkat martabat perempuan dalam meraih kesetaraan gender terhadap laki-laki.

Rencana Skripsi dan Argumen
     Rancangan skripsi yang akan saya buat berbeda dengan review skipsi ini, karena dalam skripsi yang saya buat akan menawarkan suatu hal yang berbeda. Skripsi yang saya buat nantinya akan berisi mengenai pentingnya kesiapan secara mental psikologi dan pemahaman mengenai hak dan kewajiban masing-masing pasangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
     Dalam perkawinan bukan hanya tentang umur saja yang harus diperhatikan namun juga harus memperhatikan kesiapan secara mental psikologi dan pemahaman mengenai hak dan kewajiban masing-masing pasangan. Apabila kita hanya memperhati umur tidak menutup kemungkinan nantinya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Contohnya seperti kurang pemahaman pasangan dalam hal hak dan kewajiban bisa membuat salah satu pasangan memberikan beban ganda terhadap pasangannya, seperti perempuan yang harus bisa mengurus rumah dan bekerja yang mengakibatkan beban ganda.
     Tujuan dalam skripsi yang saya buat adalah memberikan pemahaman bahwa sebelum adanya perkawinan kita harus mempersiapkan mental psikologi dan pemahaman mengenai hak dan kewajiban masing-masing pasangan. Menurut saya apabila kita hanya memperhatikan dari segi usia anak yang masih berumur 19 tahun belum bisa bertanggung jawab sepenuhnya akan dirinya. Sehingga sebagi orang tua harus bisa memahami kesiapan seorang anak sebelum adanya terjadi perkawinan.
#hukumperdataislamdiindonesia
#uinsurakarta2024
#prodiHKI
#muhammadjulijanto
#fasyauinsaidsurakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline