Lihat ke Halaman Asli

Selamat Hari Kartini: Untuk Kaum Wanita dan Kaum Pria di Indonesia

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selamat Hari Kartini: Untuk Kaum Wanita dan Kaum Pria di Indonesia

Setiap tanggal 21 April, kaum wanita Indonesia merayakan Hari Kartini. Walaupun telah lama digulirkan, rasanya kesetaraan akan tetap aktual sepanjang masa, karena di berbagai lini masih harus terus diperjuangkan. Untuk itu, marilah kita renungkan berbagai aspeknya, agar cita-cita emansipasi dapat terus kita wujudkan.

Hakekat seks, sex identity, dan gender

Dalam amatan saya, masih terdapat rancu pengertian, antara sex, sex identity, dan gender. Sex merupakan fitur biologis yang menyangkut reproduksi, di mana pada pria terdapat kemampuan membuahi, melalui pelepasan sperma, sementara pada wanita terdapat kemampuan melepaskan sel telur, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Sementara itu, sex identity adalah keyakinan apakah seseorang merupakan pria atau wanita. Perlu disampaikan bahwa sex berbeda dengan sex identity, karena sex diatur oleh organ reproduksi, sementara sex identity diatur oleh sebuah bagian otak.  Memang, pada umumya orang yang terlahir perempuan akan merasa bahwa dirinya memang perempuan, demikian juga sebaliknya. Namun, ada warga yang memiliki sex yang berbeda dengan sex-identity. Mereka disebut kaum transgender, yang mencakup waria (fisik pria namun batin wanita) dan prita (fisik wanita namun batin pria).

Sementara itu,  gender adalah seperangkat konstruk sosial menyangkut apa yang diyakini melekat pada pria dan wanita. Konstruk ini ditandai dengan dikotomi maskulin, misalnya keberanian dan keuletan, dan feminin, misalnya welas asih dan ketelitian. Selain itu juga ada konstruk pembagian kerja, di mana kerja luar rumah dianggap menjadi ranah kaum pria, sementara kerja dalam rumah dianggap menjadi ranah kaum wanita.

Kutub Maximalis: Kurang Manusiawi

Dalam kaitan dengan sex dan gender terdapat dua kutub. Kutub pertama, kutub maximalis, memandang bahwa sex menyatu dengan gender. Kutub ini, yang umumnya dianut oleh kalangan tradisional, menganggap bahwa wanita identik dengan femininitas serta kerja rumah, sementara pria identik dengan maskulinitas serta kerja luar rumah. Pola pikir tradisional ini membuat kaum wanita tidak dapat mengembangkan potensinya serta harus nrimo untuk hanya menjadi konco wingking (istilah Jawa) atau orang rumah (istilah Melayu). Pada kaum maximalis yang ekstrim, wanita sama sekali ditabukan untuk keluar rumah. Akibatnya memang sangat menyedihkan. Misalnya, di Afganistan, saat kaum Taliban berkuasa, bahkan Ibu-ibu yang suaminya tewas namun mempunyai banyak anak terpaksa mengemis, lantaran tidak boleh bekerja, demi menghidupi anak-anaknya. Sekarang pun, di berbagai penjuru Afganistan, dan Pakistan barat laut, anak-anak gadis seakan menyabung nyawa jika bersekolah, karena sekolah mereka bisa sewaktu-waktu diserang atau dibakar oleh gerilyawan Taliban. Ini belum lagi menyangkut berbagai aspek tiadanya hak wanita, seperti fenomena kawin paksa.

Kelompok minimalis memang ditandai oleh kesenjangan hak dibandingkan dengan kewajiban yang harus dipikul oleh kaum wanita. Kesenjangan inilah yang diperjuangkan untuk disamakan oleh Ibu kita Kartini melalui gerakan emansipasi beliau.

Kutub Minmalis: Lebih Manusiawi, namun Jangan Lupa Fitrah

Di lain pihak, terdapat kutub minimalis. Kutub ini berpandangan bahwa di luar faktor reproduksi, tidak ada perbedaan hakiki antara pria dan wanita. Dengan demikian, sifat maskulin maupun  feminin sama-sama terdapat pada pria dan wanita. Sementara itu, kerja rumah dan kerja luar rumah dapat dikerjakan baik oleh pria maupun wanita

Paham minimalis memang lebih sesuai dengan realita. Sebagai contoh, keberanian, yang dianggap unsur maskulin. Pernakah Anda membaca Jessica, gadis remaja Australia yang berlayar seorang diri keliling dunia? Tentu Anda akan sependapat bahwa keberanian gadis ini, menantang gelombang dan badai samudra seorang diri, adalah kaberanian yang amat langka, bahkan di kalangan kaum lelaki yang paling pemberani. Sebaliknya, welas asih, yang dianggap unsur feminin. Dulu, saat Indonesia konfrontasi dengan Malaysia, sebuah motor boat, yang diawaki oleh para prajurit RPKAD (sekarang Kopassus), menembus wilayah musuh dengan kondisi siap tempur. Di suatu kelokan, pasukan SAS (Kopassus-nya Inggris) mengintai, siap memulai pertempuran. Namun, di menit-menit terakhir, komandan SAS membatalkan serangan. Apa pasal? Ternyata perahu RPKAD tersebut membawa ibu hamil tua yang akan melahirkan ke suatu klinik. Terlihat, betapa  para prajurit elite dunia, RPKAD dan SAS, menunjukkan sikap welas asih mereka.

Itulah sebabnya di berbagai negara faham minimalis ini lebih banyak dianut. Program-program pemberdayaan perempuan, termasuk kuota anggota legislatif untuk kaum perempuan, misalnya, didasari oleh faham tersebut. Karena itu jugalah, kini sudah lumrah kita melihat pasutri (pasangan suami isteri) yang sama-sama meniti karir sembari membina keluarga. Bahkan, ada juga suami yang bekerja paruh waktu sementara isterinya bekerja penuh, karena kebetulan jenjang karir sang isteri lebih menjanjikan.

Namun demikian, perlu direnungkan bahwa faham minimalis mutlak juga kurang/tidak baik. Pada faham minmalis mutlak, segala sesuatu diukur dengan kuota. Misalnya, jika populasi wanita dewasa 55% dan populasi pria dewasa 45%, maka dalam segala jenis pekerjaan, baik bengkel mobil maupun rumah sakit, proporsinya juga harus wanita 55% dan pria 45%. Kiranya ini bukan hal yang bijaksana. Karena, walaupun maskulinitas dan femininitas ada pada pria dam wanita, intensitasnya tidak sama. Misalnya, untuk pekerjaan bengkel mobil, sebagian wanita bisa melakukannya dengan baik, namun, tetap akan lebih banyak pria yang melakukannya, karena bakat dan minat di kalangan pria memang lebih banyak. Sebaliknya, pada perawat, bakat dan minat di kalangan wanita memang lebih banyak. Jadi, memaksakan kuota yang sama di segala lini justru kurang manusiawi.

Menjadi Ibu: (Masih) Panggilan yang Paling Mulia bagi Wanita

Bagi rekan-rekan para Ibu dan remaja putri, barangkali saya kedengaran agak tradisional. Nah, perkenankanlah saya menyampaikan bahwa pada tahun 2006, dengan kedermawanan Kemendikbud dan Harian Kompas, saya menyampaikan makalah di suatu konferensi di Bangkok, dengan judul “The Rise of Femininity: The Call of History” (Pasang Naik Femininitas: Sebuah Panggilan Sejarah). Intinya, saya menyampaikan bahwa kaum wanita perlu mendapakan peran yang lebih besar dalam Negara dan masyarakat, karena wanita akan sangat berperan dalam sejarah masa depan.

Saya pun menimba ilmu ke manca negara, selain untuk menunaikan tugas negara, juga guna mendalami dan mengamati kemajuan peran wanita di negara-negara maju. Dan inilah yang saya dapati: Bahwa peran menjadi Ibu, masih tetap merupakan panggilan dan kelebihan kaum wanita. Saya amati, betapa di negara maju terjadi krisis, lantaran sejumlah wanita karir tidak tertarik memiliki buah hati. Akibatnya, keluarga yang seyogyanya melahirkan manusia unggul di masa depan, berkat Ibu yang unggul meniti karir, menjadi urung terbentuk, lantaran tiadanya generasi penerus.

Mohon rekan-rekan saya para Ibu dan remaja putri tidak salah paham. Tidak berarti saya menganjurkan kaum wanita untuk hanya berkiprah di rumah tangga. Sama sekali tidak. Sesuai cita-cita Ibu Kartini, saya tegaskan dukungan saya kepada kaum perempuan untuk mencapai karir sampai puncak, seperti yang saya sampaikan dalam makalah di atas. Hanya saja, mohon jangan melupakan panggilan kodrati yang diamanahkan oleh Sang Pencipta. Tidak lupa saya sampaikan himbauan agar kaum Bapak mendukung karir para Ibu serta bersedia bergotong-royong melakukan tugas rumah tangga, termasuk mengasuh anak, sehingga dapat terwujud peran ganda yang adil dan setara. Perkenankan juga saya menghimbau agar Negara bersedia memfasilitasi, sehingga baik kaum Ibu maupun kaum Bapak dapat menunaikan peran ganda yang adil dan setara tersebut, misalnya lewat subsidi penitipan anak balita bagi pasutri yang sama-sama bekerja.

Marilah Lanjutkan Perjuangan serta Sampaikan Penghargaan kepada Kaum Pria

Perlu kiranya saya sampaikan bahwa hari Kartini sebenarnya merupakan simbol perjuangan kaum wanita, dengan kepeloporan para tokoh pendahulu, yang tidak saja menyangkut R.A. Kartini, namun juga para tokoh lainnya, seperti Cut Nyak Dien, Maria Tiahahu,  Rohanna Koeddoes, Walanda Maramis dll.

Kepada sesama kaum Ibu dan remaja putri di Indonesia yang tercinta, marilah kita lanjutkan obor perjuangan Ibu Kartini dan para tokoh perempuan tersebut. Namun, hendaknya jangan dilupakan bahwa perjuangan emansipasi kaum wanita Indonesia bisa berhasil lantaran dukungan kaum pria. Cobalah kita simak dan renungkan kondisi wanita di Afganistan dan Timur Tengah pada umumnya. Mengapa sampai kini kondisi wanita masih belum banyak beranjak di sana? Mengapa anak gadis harus was-was pergi sekolah di Afganistan? Mengapa di berbagai negeri di kawasan tersebut, untuk sekedar memiliki SIM atau pergi sendiri saja tidak diperkenankan, apalagi untuk meniti karir? Hemat saya, tak lain dan tak bukan karena kaum pria di kawasan tersebut kurang/tidak mendukung upaya emansipasi kaum wanita.

Selain itu, peminggiran bisa juga terjadi pada kaum pria. Hati saya sering sedih melihat bahwa di negara maju, ada gejala bahwa pria pendukung emansipasi justru mulai terpinggirkan. Sebagai contoh, dalam kasus cerai, sekalipun yang bersalah fihak isteri, tetap saja, secara umum, yang dihukum adalah pihak suami, seperti harus membayar semua biaya perkara, kehilangan sebagian besar harta gono-gini, serta kehilangan hak asuh atas anak. Semoga hal demikian jangan sampai terjadi di Indonesia. Semoga kita sadari bersama, bahwa kesetaraan mesti berlaku bagi perempuan maupun lelaki.

Untuk itu, marilah kita panjatkan syukur ke hadirat Tuhan YME, karena atas berkat dan karunia-Nya lah kaum wanita di negeri ini dapat memperoleh berbagai hak dan kemudahan yang mungkin tidak terbayangkan oleh R.A. Kartini. Seiring doa bagi arwah beliau, dan para pendahulu lainnya, marilah kita semua bergandeng tangan, guna melanjutkan perjuangan beliau-beliau, agar kaum wanita dapat memperoleh emansipasi yang sejati di bumi Pertiwi. Namun. jangan lupa, marilah kita sampaikan penghargaan yang setulusnya kepada kaum pria Indonesia, yang telah dengan besar hati mendukung perjuangan emansipasi, serta mengupayakan pencerahan bagi kaum pria yang belum tersentuh nuraninya.

Semoga hari Kartini dapat menjadi momentum emansipasi, kebersamaan, dan harmoni, bagi kaum wanita maupun kaum pria.

Akhir kata, perkenankanlah sekali lagi saya menyampaikan: Selamat Hari Kartini, bagi kaum wanita, dan kaum pria, di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline