Lihat ke Halaman Asli

Mencegah Paedofilia di Sekolah: Sebuah Saran

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1398502527492757823

[caption id="attachment_333465" align="aligncenter" width="586" caption="Ilustrasi/ Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Mencegah Paedofilia di Sekolah: Sebuah Saran

Akhir-akhir ini terbetik berita kasus paedofilia di sebuah sekolah internasional di Jakarta. Dikabarkan bahwa kasus paedofilia tersebut dilakukan oleh petugas kebersihan (PK). Namun ada dugaan bahwa kasus ini melibatkan staf edukasi.

Peristiwa ini merupakan kasus yang amat tragis, karena korban paedofilia biasanya mengalami trauma sepanjang hidupnya. Oleh karenanya, diperlukan upaya serius guna menanggulanginya. Saya tidak ingin membahas aspek penegakan hukum, karena hal itu sudah jelas aturannya. Di sini, saya bermaksud menyampaikan upaya pencegahan, yang mungkin belum dilakukan di Tanah Air. Untuk itu, perkenankanlah saya menyampaikan sedikit pengalamanan tentang upaya di Australia, untuk melindungi anak didik.

Di Australia, perlindungan terhadap anak didik dilakukan secara berlapis. Misalnya, ada peraturan bahwa anak di bawah usia tertentu tidak boleh berkeliaran sendirian. Jadi, kita tidak akan melihat anak SD di bahwa usia tertentu ngeluyur di mal, taman atau tempat lainnya, bahkan juga di luar jam sekolah, tanpa ditemani oleh orang tuanya atau orang dewasa lainnya. Kalau itu sampai terjadi, orang tua anak tersebut bisa diperkarakan. Anak SD, kalau belum kelas 7, biasanya tidak boleh mendapatkan kartu diskon angkutan umum, dengan asumsi bahwa orang tuanya akan mengantarkannya. Memang kalau dekat, anak-anak masih bisa jalan kaki atau naik sepeda. Yang kedua, anak sekolah dianjurkan untuk tidak mau diantar oleh orang yang bukan famili atau sangat dikenal. Saat anak saya di Western Australia, waktu mengantar anak ke sekolah, saya beberapa kali menawari tumpangan bagi anak lain yang sekolah di tempat yang sama, namun mereka tidak mau.

Khusus untuk mereka yang akan bekerja di sekolah ataupun playgroup, ada screening yang ketat. Semua calon karyawan, tidak peduli apakah itu kepala sekolah, guru, tenaga administrasi, atau pekerja kasar (tukang kebun atau petugas kebersihan), harus mendapatkan working with children card (kartu dapat bekerja untuk anak). Untuk memperoleh kartu ini, yang bersangkutan harus mendapatkan persetujuan dari kepala sekolah, untuk kemudian melamar ke Departemen terkait guna mendapatkan kartu tersebut, dengan melampirkan berbagai persyaratan, di antaranya kartu jati diri. Departemen akan mempelajari arsip ybs, khususnya catatan ybs dalam hubungan dengan anak. Kalau catatan ybs bersih, ia akan mendapatkan kartu yang berlaku selama 3 tahun. Kalau masa berlaku habis ia harus mendaftar kembali dengan persyaratan seperti semula.

Selain itu, masih ada saringan dari pihak Kepolisian. Dalam hal ini, ybs harus mengisi form dan mengajukan lamaran kepada Kepolisian setempat, dengan mendapatkan rekomendasi dari Kepala Sekolah serta melampirkan berbagai syarat lainnya, di antaranya kartu jati diri. Kepolisian akan mempelajari rekam jejak ybs, khususnya dalam hal relasi dengan anak. Proses bisa berlangsung selama beberapa minggu. Kalau catatan ybs bersih, ia akan mendapatkan police clearance (surat keterangan bersih masalah terhadap anak).

Kedua persyaratan tersebut mutlak diperlukan. Bahkan jika seseorang sudah bekerja beberapa lamanya di sebuah sekolah, kalau working with children card sudah habis masa berlakunya, ybs wajib memperbaharui. Kalau tidak mau, ia tidak akan boleh bekerja lagi. Peraturan tersebut diterapkan bagi semua orang yang ingin bekerja di sekolah, tanpa pandang bulu. Karena rekam jejak seseorang disimpan di arsip federal maupun negara bagian, orang yang tersangkut kasus paedofilia akan terganjal jika melamar untuk bekerja di sekolah di seluruh Australia.

Para pengurus sekolah bertaraf internasional pasti sudah mengerti tentang ketentuan di atas, yang dalam berbagai variasinya saya yakin juga diterapkan di berbagai negara maju. Oleh karenanya, sungguh mengherankan bahwa sekolah tersebut terkesan kurang/tidak menerapkan seleksi yang ketat terhadap para calon karyawannya, terkait dugaan bahwa tindak pelecehan seksual dilakukan bukan saja oleh petugas kebersihan melainkan juga ileh staf edukasi.

Oleh karenanya, mungkin dapat dipertimbangkan agar seleksi ketat, seperti melalui persyaratan working with children dan police clearance di atas, dapat diterapkan di Indonesia, guna menjaring semua calon karyawan sekolah dan penitipan anak,  dari kepala sekolah, guru, tata usaha, dan pekerja tangan, untuk semua jenis lembaga pendidikan, baik negeri, swasta, maupun keagamaan.

Di lain pihak, saya harapkan agar seleksi tersebut jangan sampai menjadi kesempatan untuk melakukan pungli. Akan sungguh kasihan jika gara-gara ingin melamar menjadi PK, yang upahya sangat minim, seseorang masih harus membayar upeti agar mendapat surat lolos saringan.

Demikianlah sumbang saran saya, agar lembaga pendidikan di Indonesia dapat menjadi taman yang nyaman bagi perkembangan jasmani dan rohani para buah hati kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline