Lihat ke Halaman Asli

Jangan Sampai Menjadi Penjual Keledai yang Memikul Keledainya

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jangan Sampai Menjadi Penjual Keledai yang Memikul Keledainya

Menjelang Pilpres, suasana di masyarakat bertambah hangat. Di media maya, berseliweranlah berbagai opini, baik yang memuji atau menyudutkan para tokoh dambaan masing-masing. Tulisan ini disampaikan kepada para Capres dan para pendukung, menyangkut kemustahilan untuk menyenangkan semua orang.

Setiap hal dapat dipandang dari sisi positif maupun negatif. Misalnya, kegemaran blusukan. Hal ini bisa ditanggapi sebagai bukti kedekatan terhadap rakyat namun juga bisa didakwa sebagai sebentuk pencitraan. (Walaupun sebenarnya, untuk mengetahui apakah sebuah tindakan merupakan hal yang asli atau polesan cukup dilihat rekam jejak ybs: Kalau dari dulu sudah begitu, besar kemungkinannya itu asli pembawaan ybs. Namun, kalau tindakan itu hanya dilakukan pada event-event tertentu, seperti menjelang pemilu, besar kemungkinannya bahwa hal tersebut merupakan polesan).

Demikian pula bersikap memenuhi harapan para mitra koalisi. Memang seyogyanya sedapat mungkin diupayakan untuk memenuhi harapan mereka. Namun, tentunya tidak mungkin untuk memenuhi seluruh tuntutan bagi semua mitra oposisi. Sebagai contoh, jabatan Wapres hanya satu. Bagaimana mungkin memenuhi tuntutan agar semua mitra koalisi mendapatkan jabatan Wapres?

Apa pun bentuknya, mustahil menyenangkan semua orang. Dongeng di bawah ini mungkin dapat dipetik hikmahnya.

Alkisah, pada zaman dahulu ada bapak dan anak yang berangkat ke pasar untuk menjual keledai. Semula, sang bapak menaiki keledai tersebut sementara sang anak berjalan di sampingnya. Mereka riang melaju, membayangkan keping-keping uang yang akan mereka peroleh di pasar. Namun keriangan mereka terusik saat berpapasan dengan seorang nenek, karena beliau bergumam, “Sungguh bapak yang tidak sayang kepada anak. Bagaimana bisa anak dibiarkan berjalan sementara dia nongkrong di atas keledai?”

Mendengar gumam sang nenek, sang bapak turun dari keledai dan menyuruh sang anak ganti naik, lalu dengan riang melanjutkan perjalanan. Namun, di tengah jalan, mereka bersua dengan kerumunan petani yang lagi istirahat. Melihat sang anak di atas keledai, seorang petani nyeletuk, “Anak zaman sekarang memang nggak tahu adat. Coba lihat itu. Masa anak enak-enak naik keledai, sementara bapak jalan kaki?” Para petani lain pun menggumam dan mengiyakan. Mendengar celetukan tersebut, sang bapak dan anak sama-sama merah mukanya. Setelah agak jauh dari kerumunan, sang anak meloncat turun, lalu mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan di samping keledai, dengan keyakinan bahwa masalahnya sudah beres.

Dugaan mereka keliru. Saat mereka melewati sebuah halaman, ada ibu-ibu sedang momong anak mereka. Saat keduanya lewat, ibu-ibu tersebut pada rasanan, “Bapak dan anak ini sepertinya sama-sama tolol. Buat apa punya keledai kalau tidak dinaiki?” Sang bapak dan anak kembali memerah mukanya. Mereka berjalan terus, namun setelah agak jauh mereka berhenti dan berunding. Diputuskan bahwa keduanya akan menaiki keledai. Dengan begitu, mereka pikir bahwa masalahnya selesai dan perjalanan pun dilanjutkan.

Apa lacur. Mereka berpapasan dengan serombongan pedagang yang pulang dari pasar. Saat melihat sang bapak dan anak di atas keledai, mereka berhenti, geleng-geleng kepala, dan berkomentar, “Dua orang sekaligus naik keledai. Sungguh mereka tidak memiliki rasa kasihan terhadap binatang. Terus, kalau keledai mau dijual, siapa mau beli keledai loyo?” Sang bapak dan sang anak hanya bisa menunduk; namun setelah agak jauh, keduanya turun dan merenung di bawah pohon, sambil menggaruk-garuk kepala. Begini salah, begitu salah, jadi harus bagaimana? Setelah memutar otak, mereka mengambil langkah yang sangat drastis. (Dugaan Anda betul). Mereka mencari sebatang dahan yang kuat dan memangkas ranting-rangtingnya. Lalu, mereka mengikat keempat kaki keledai ke dahan dan memikul keledai tersebut serta melanjutkan perjalanan!

Tentu saja si keledai merasa sangat tidak nyaman, memberontak dan melenguh sepanjang jalan. Saat mendekati pasar, pasar kontan geger lantaran berita ada orang gila memikul keledai. Para pedagang dan pembelanja pun berhamburan ke pinggir jalan, ramai-ramai menonton dan mencemooh sang bapak dan anak yang berpeluhan memikul keledai.

Sang bapak dan anak, walaupun terengah-engah dan panas telinga mendengar cemoohan mereka, tidak lagi peduli. Namun, si keledai, yang sangat tidak nyaman, menendang-nendang dan akhirnya berhasil melepaskan diri. Sementara sang bapak dan anak terguling, si keledai melarikan diri dan mencebur ke sungai. Seharian sang bapak dan anak berenang dan berkejaran untuk menangkap si keledai. Sang bapak dan anak sudah jatuh tertimba tangga. Sudah gagal menjual keledai dianggap pula sebagai gila.

Nah, kepada para Capres dan para pendukung, semoga dongeng di atas dapat diambil hikmahnya. Tetaplah konsisten dengan pembawaan dan kebijakan dasar Anda. Memang baik untuk berusaha menyenangkan sebanyak mungkin orang, baik mitra koalisi maupun warga masyarakat. Namun, jangan berusaha menyenangkan semua orang. Salah-salah, Anda bisa menjadi penjual keledai yang memikul keledainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline