Mungkin RA Kartini sebagai pelopor gerakan emansipasi wanita, tidak pernah menyangka bahwa kegundahannya yang disampaikan melalui surat ke sahabatnya Stella di Belanda, kini menemui kenyataan.
Saat itu, RA Kartini yang akhirnya menikah muda dan kemudian meninggal ketika melahirkan , menginginkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Dia selalu mempertanyakan kepada dunia dan lingkungan sekitarnya, seakan menganaktirikan perempuan yang hanya mengecap pendidikan rendah dan takdirnya hanya di dapur dan merawat anak.
Satu abad berlalu dan kondisi perempuan masa kini meningkat pesat. Kita pernah memiliki presiden perempuan bernama Megawati Soekarnoputri. Kita punya banyak sekali ilmuwan dan peneliti yang berkiprah di dalam maupun di luar negeri.
Kita punya aktor dan aktris wanita yang berkiprah dengan standar internasional. Kita punya diplomat wanita yang tersebar di seluruh dunia. Dan kita punya menteri Luar Negeri yang luar biasa bernama Retno Marsudi . Retno adalah menlu pertama yang merupakan perempuan. Dalam bidang keras dan tuntutan berdiplomasi dengan beraneka persoalan telah dilampauinya dengan sangat baik. Bahkan melalui Retno, Indonesia yang merupakan anggota dari OKI (negara -negara Islam) sangat mendapat atensi oleh banyak negara ketika dia melontarkan kritik soal serangan Israel ke wilayah palestina di jalur Gaza yang menelan banyak korban. Meski persoalan itu belum kunjung selesai, namun keberanian Retno Marsudi itu untuk mengkritik , layak diacungi jempol.
Kita juga punya banyak kepala daerah dari desa sampai kecamatan yang merupakan wanita. Di bidang birokrasi, banyak perempuan yang menduduki kepala dinas bahkan dirjen. Regulasi soal kesetaraan pria dan wanita sudah sedemikian baik, namun memang sana sini ada budaya atau kebiasaan lokal yang menghambat berkembangnya kesetaraan.
Paling banyak adalah soal pendidikan. Meski pendidikan antara wanita dan pria sudah setara, namun banyak keluarga dan wanita itu sendiri yang memilih menjadi ibu rumah tangga tanpa kegiatan lainnya sehingga kembali menjadi subordinasi dari laki-laki sehingga kiprahnya serasa itu itu saja.
Dengan kondisi seperti ini, kita seharusnya bisa mensyukuri perkembangan emansipasi yang ada. Meski kesetaraan belum maksimal, namun kita seharusnya bisa mengusahakannya dengan lebih baik. Jangan ada yang pernah mengeluh bahwa kesempatan itu tak ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H