Kamu memang menggejutkan.
Seorang buruh kasar dari ujung pabrik.
Kamu ingin merebut Surga yang sudah di Kapitalisasi.
Jangan khawatir, itu bukan lagi mimpi.
Temboknya sudah di dobrak olehmu, ia retak perlahan.
Aromanya lebih menyakinkan dari saat-saat mudamu dulu.
Tapi kali ini kamu sungguh terlalu.
Pergi secepat kilat menyambar.
Kamu tinggalkan duka, untunglah bukan nestapa.
Semua tergaris lewat tanggal penggaris.
Kematian pastilah adalah sebuah janji yang ditepati.
Ataukah itu memang sebuah dialektika?
Ada rintih hujan. Doa-doa rubuh.
Dan wangi Kamboja mengiris malam.
Biarkan aku terlelap sejenak pada lamunku.
Jiwa ini dirasuki sukmaSang Maut yang menyindir:
“Jangan menangis, kelak hidupmu pun kututup”.
Tak akan pernah aku tolak, meski ia aku benci.
Aku melihat manusia, lahir, hidup, lalu mati.
Kematian ternyata memang sebuah kemestian.
Selamat jalan, Bhens Koeli.
Terima kasih untuk bait-bait puisi inspiratifmu dijalanan.
Pada gerakan buruh Indonesia.
Kami yang setia digaris massa berduka.
Untuk Bagas Palapa Sentiko, bocah dari ujung pabrik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H