Lihat ke Halaman Asli

Videlya Esmerella

https://redrebellion1917.blogspot.com/

Kita Hidup di Negeri yang Lapar

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masalah kemiskinan memang telah ada sejak dahulu kala. Pertanyaannya sekarang adalah: kenapa kemiskinan masih terus ada, dan angkanya tidak pernah turun secara signifikan, dan bahkan bisa dikatakan bahwa angka kemiskinan tetap tinggi? Dalam pendekatan struktural, penyebab kemiskinan terutama disebabkan oleh struktur masyarakat dan negara. Jadi meliputi masalah sosial, budaya dan politik. Struktur masyarakat Indonesia terbentuk sebagai struktur yang menguntungkan bagi sedikit orang tetapi merugikan banyak orang lainnya. Ini adalah struktur yang tidak adil! Struktur ini disebut ketidakadilan sosial yang berdiri hampir disemua lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sehingga ketidakadilan itu bagaikan udara yang kita hirup setiap hari, mau tidak mau, yang mengekang dan membatasi jangkauan gerak-gerik dan penglihatan. Kelaparan yang paling nyata saat ini adalah busung lapar dan gizi buruk. Hal ini menjadi kenyataan pahit ditengah ungkapan bahwa kita memiliki tanah yang kaya raya dengan limpahan hasil alam. Bagi korban, kelaparan adalah fakta hidup, tetapi bagi penguasa kelaparan hanya sebuah aib. Sejauh ini penguasa tidak melihat kelaparan sebagai fakta. Karena itu, bila tidak sampai ada yang meninggal, orang lapar tidak terlampau diperhatikan. Bila dalam suatu daerah terdapat warga yang meninggal karena kelaparan, penguasa setempat merasa malu karena itu merupakan aib dan pemimpin nasional juga malu di mata dunia internasional. Para penguasa malu karena di negara yang disebut sebagai negeri yang kaya dan berlimpah ruah ini ada warganya yang meninggal karena kurang makan. Kini semua terperanjat. Di berbagai daerah dilaporkan banyak orang meninggal karena kelaparan. Berhari-hari meraka tidak makan, juga tertimpa gizi buruk. Mereka, langsung atau tidak, adalah korban ketidakadilan struktural yang menjadi jiwa dan semangat pembangunan bangsa ini hingga kini. Mereka tersingkir antara gempita sedikit orang yang merasa beruntung bisa mengakses hasil-hasil pembangunan. Pembangunan tidak dijalankan atas prikemanusiaan yang adil dan beradab. Pembangunan berjiwa Kapitalistik, menyingkirkan mereka yang kerap di anggap "sampah" pembangunan. Pembangunan hanya dijalankan untuk keperluan laporan pertumbuhan ekonomi, yang tidak jelas guna dan dampaknya bagi rakyat. Kasus gisi buruk dan kelaparan dibeberapa daerah akhir-akhir ini hanya sekelebat contoh bagaimana pembangunan tidak menyentuh mereka. Aura pembangunan yang kian kapitalistik dan menjauhi sisi kemanusiaan mendidik masyarakat bersikap individualis. Modal sosial makin lama makin tak berarti karena solidaritas terbangun atas faktor-faktor materialistik. Kasus kelaparan dan gizi buruk ini terjadi dinegara yang konstitusinya berbunyi "melindungi fakir miskin". Para penguasa hanya geleng kepala menyaksikan rakyatnya yang kurus kering menderita berbagai penyakit dan tak berdaya untuk sekedar berkata-kata. Sebagian besar penguasa hanya menyaksikannya dari televisi. Kesenjangan sosial kian luar biasa besar. Dinegeri super kaya, mereka yang hidup berkekurangan sampai meninggal karena kelaparan dari dulu hingga kini tidak membuat penguasa melakukan sesuatu yang berarti. Ini harus dikatakan, sebab kasus gizi buruk dan kelaparan bukan sekali dua kali terjadi: "kita hidup di negeri yang lapar"! Ada apa dengan bangsa ini? Adakah dimeja para penguasa memikirkan rakyatnya yang berhari-hari belum makan? Sejak dulu kemiskinan hanya dijadikan isu, tidak serius dicarikan jalan keluar untuk mengatasinya. Sungguh sebuah ironi, iklan politik rakyat miskin bermunculan tanpa si elite menyadari, ia telah menjual derita rakyat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline