Lihat ke Halaman Asli

Pemanfaatan Sastra Kuno Nusantara untuk Sastra Modern

Diperbarui: 15 November 2018   16:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh : Viddy Ad Daery alias Drs.Ahmad Anuf Chafiddi

 

 

PENDAHULUAN

Ada perbedaan mendasar dalam buku karya Yudiono KS dan buku karya Boris Parnickel, mengenai sastra Nusantara. Kalau buku Yudiono seperti yang umum dimuat dalam buku-buku sejarah sastra Indonesia lainnya, yang juga banyak dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia, sejarah sastra Indonesia lebih ditekankan pada periodesasi "sastra era modern" yakni dimulai dari periode "Balai Pustaka", itupun "Balai Pustaka" zaman penjajahan Belanda. Balai Pustaka adalah nama populer dari Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur) yang sebelumnya bernama Komisi Bacaan Rakyat (Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang didirikan pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1908.

Awalnya Balai Pustaka menerbitkan buku-buku cerita rakyat berbahasa daerah, kemudian buku-buku terjemahan atau saduran cerita-cerita kepahlawanan orang Belanda dan cerita-cerita klasik Eropa, baru kemudian buku-buku karangan baru. Tahun 1914 terbitlah roman pertama dalam bahasa Sunda "Baruang Ka Nu Ngarora" (Ratjun Bagi Paramuda) karangan D.K. Ardiwinata.

Tahun 1918 terbitlah "Tjerita Si Djamin dan Si Djohan" karangan Merari Siregar. Tjerita Si Djamin dan Si Djohan yang disebut sebagai roman pertama dalam sastra Indonesia, sebetulnya disadur Merari Siregar dari novel Jan Smees karangan J. van Maurik. Oleh T. J. Lekkerkerker dikatakannya disadur dari novel Oliver Twist, karangan Charles Dickens. Baru pada tahun 1920 terbit roman asli pertama sastra Indonesia berjudul "Azab dan Sengsara" karangan Merari Siregar juga.

Balai Pustaka memang berhasil mendorong kegiatan menulis di kalangan orang Indonesia. Untuk dapat diterbitkan di Balai Pustaka, tulisan itu mereka saring ketat. Ini dapat dimaklumi, karena didirikannya Balai Pustaka memng mempunyai latar belakang politis, untuk mengarahkan bacaan rakyat dan menyaingi buku-buku terbitan swasta atau partikelir. Buku-buku terbitan mereka akhirnya makin lama makin banyak tersebar dalam masyarakat. Buku-buku itu sebagian besar membangkitkan rasa nasionalisme.

Berbeda dengan Boris Parnickel, dalam bukunya "Perkembangan Sastera Nusantara Serumpun", ( Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, Kuala Lumpur, 1992 ) justru memulai pembahasan sastera Nusantara ( yang dalam kenyataannya lebih banyak membahas sastera Indonesia ), ternyata lebih banyak membahas sastra dalam periode abad lampau, dimulai abad 7 M.

Sebenarnya Yudiono KS juga membahas sambil lalu, bahwa pada hakekatnya telah berkembang juga sastra daerah, misalnya : di Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Toraja, Lombok dan sebagainya. ( Halaman 11 Yudiono KS, Grasindo 2010 ). Tetapi Yudiono menekankan bahwa sastra Indonesia adalah sastra yang berbahasa Indonesia, maka dengan itu, sastra daerah Nusantara tidak dimasukkannya ke dalam pembahasan periodisasi sejarah sastra Indonesia.

Tentu saja, ada beberapa sejarawan atau pembahas sejarah sastra Indonesia yang tidak setuju pendapat Yudiono KS, misalnya Teew. Dan tentu demikian juga saya, karena bagaimanapun, merujuk pendapat Prof.Teew, berbagai sastra daerah di Indonesia tersebut, pada hakekatnya adalah milik bangsa Indonesia juga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline