Tarif PPN Selalu Meningkat? Atau Bisa Turun?
Tarif PPN
Tarif PPN telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, dimulai dari 10% yang berubah menjadi 11% sejak 1 April 2022, dan akan dinaikkan secara bertahap hingga mencapai 12% pada tahun 2025, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP. Pasal 7 ayat (1) UU tersebut menjelaskan mengenai tarif PPN, sementara pasal 7 ayat (3) memuat ketentuan bahwa tarif PPN dapat diubah dengan batas maksimum 15% dan minimum 5%, yang diatur oleh Peraturan Pemerintah. Kenaikan tarif PPN sebesar 1% dari sebelumnya 10% mencerminkan salah satu perubahan dalam kebijakan perpajakan.
PPN merupakan salah satu lumbung pendapatan bagi negara. Menurut informasi yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan PPN/PPnBM tahun 2019 adalah sebesar Rp531.577,30 milyar atau sebesar 27,11% dari total pendapatan negara, tahun 2020 terdapat penurunan menjadi sebesar Rp450.328,06 milyar atau sebesar 27,33% dari jumlah pendapatan negara, tahun 2021 mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp501.780,00 milyar atau sebesar 28,90% dari total pendapatan negara, tahun 2022 mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu sebesar Rp687.609,50 milyar atau sebesar 26,09% dari total pendapatan negara dan pada tahun 2023 terus meningkat menjadi sebesar Rp742.264,50 milyar atau sebesar 28,15% dari total pendapatan negara. Dalam data statistik tersebut, dapat dilihat bahwa pendapatan yang bersumber dari PPN/PPnBM sempat mengalami penurunan. Namun, di tahun-tahun berikutnya pendapatan tersebut terus menerus meningkat. Lalu apa yang mendasari kebijakan kenaikan tarif PPN tersebut?
Kebijakan Kenaikan Tarif PPN
Kebijakan untuk meningkatkan tarif PPN adalah salah satu langkah yang diambil pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menjelaskan bahwa rata-rata tarif PPN di seluruh dunia, termasuk negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan lainnya adalah 15 persen. Dibandingkan dengan angka tersebut, tarif PPN di Indonesia yang saat ini berada pada 11 persen dan dijadwalkan naik menjadi 12 persen pada tahun 2025, masih berada di bawah rata-rata dunia. Maka dari itu, peningkatan tarif PPN di Indonesia diharapkan dapat membantu menangani beban keuangan negara dan memperkuat dasar pajak, yang saat ini menjadi sumber pendapatan terbesar bagi negara.
Tindakan untuk memulihkan ekonomi setelah gelombang tinggi pandemi Covid-19 mendorong pemerintah untuk segera mengembalikan kesehatan APBN. Ini penting karena APBN berperan krusial dalam mengatasi krisis global yang dipicu oleh Covid-19 dan telah terbukti mendukung kebutuhan masyarakat selama pandemi.
Dalam mengambil kebijakan ini, pemerintah mempertimbangkan dengan cermat prinsip keadilan dan sasaran yang tepat guna memastikan kepentingan masyarakat tetap terjaga. Salah satu langkah adalah menetapkan tarif PPN sebesar 11 persen yang menghapuskan pengenaan tarif pada barang-barang pokok, layanan kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial, dan layanan lainnya.
Selain itu, penyempurnaan lain dalam kebijakan ini adalah diterapkannya tarif khusus untuk jenis barang/jasa tertentu, seperti PPN Final dengan tarif 1%, 2%, atau 3% dari omset usaha yang diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan. Langkah ini diambil pemerintah untuk mempermudah pemungutan PPN, terutama dalam hal administrasi bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Histori Penurunan Tarif Pajak
Penurunan tarif pajak sebelumnya pernah terjadi pada jenis Pajak Penghasilan (PPh) Badan dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah telah memutuskan untuk menurunkan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 22% melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. Alasan di balik keputusan ini adalah untuk membantu meringankan beban yang ditanggung oleh para pengusaha akibat dampak dari virus Corona. Dengan mengurangi tarif PPh Badan, pemerintah berharap dapat mencegah terjadinya kebangkrutan yang banyak dialami oleh korporasi dan mengurangi risiko pemutusan hubungan kerja (PHK). "Artinya yang ada di dalam Omnibus Law Perpajakan kita tarik untuk dimajukan di 2020 sebagai bagian dari pengurangan beban pada sektor korporasi sehingga mereka tidak mengalami tekanan untuk kemudian menciptakan PHK atau kebangkrutan," katanya melalui konferensi video, Rabu (1/4/2020).