Lihat ke Halaman Asli

Wawancara dengan Presiden

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_287777" align="alignnone" width="212" caption="Wajah Pak Geje"][/caption] Berikut adalah wawancara saya dengan pak Suratno Galih Jatmiko (SGJ), yang biasa dipanggilpak Geje, presiden Republik Endonesa, sebuah negara dari galaksi lainyang mirip dengan negara kita. Saya: "selamat malam pak Geje. Senang Anda bisa hadir disini. Bagaimana perjalanan 1000 tahun cahaya yang Anda tempuh? Kabarnya Anda datang tanpa pengawalan?" Geje: "iya benar. Saya tadi nyetir sendiri mobil antar galaksinya. Cuma ditemani satu ajudan saya. Ya biasalah, buat teman ngobrol kalau mulai mengantuk. Apalagi sering kena lampu merah." Saya: "Anda sebagai presiden masih terkena lampu merah? Bukannya itu tidak sesuai protokol kenegaraan?" Geje: "Di negara saya, semua pejabat dan rakyat diperlakukan sama. Tidak ada pembedaan. Kalau rakyat berhenti karena lampu merah, pejabat negara juga harus melakukan hal yang sama. Kalau di bumi istilahnya memberi teladan kan ya? Hehehe..." Saya: "Apa tidak takut? Misal karena berhenti di jalan, lalu tiba-tiba mobil Anda dilempar granat atau ditembak dengan RPG oleh musuh-musuh Anda?" Geje: "Saya tidak mempunyai musuh. Semua teman saya. Rakyat juga teman saya. Kalau ada tanda-tanda orang atau gerakan yang ingin memusuhi, langsung saya habisi. Oleh karenanya saya tidak mempunyai musuh. Hehehe..."

Pak Geje lalu melemparkan senyum dingin kepada pemirsa yang hadir di studio. Lalu mengedipkan matanya kepada ajudannya.

Saya: "Baiklah. Jadi di negara Anda tidak ada hak-hak istimewa kepada pejabat negara?" Geje: "Tidak ada. Perlakuan terhadap semuanya sama. Tidak ada perlakuan khusus kepada pejabat negara. Seorang menteri kalau mau mengurus pembayaran pajak atau memperpanjang SIM, ya harus ikut antri juga. Menteri kan juga rakyat, cuma yang bedain dia punya uang yang lebih banyak. Tapi bukan dari korupsi. Di negara saya pelaku korupsi ditembak mati." Saya: "Ditembak mati? Wah, Anda tegas sekali sebagai presiden. Berarti Anda mendukung hukuman mati?" Geje: "Oh, iya. Hukuman mati itu perlu. Pelaku pembunuhan kalau terbukti bersalah ya ditembak mati. Kalau ada demonstran berubah jadi anarkis ya kami habisi di jalanan. Residivis kambuhan, preman, dan berandalan kami tembak mati semua. Lumayanlah. Angka kriminalitas jadi jauh berkurang. Jumlah penduduk jadinya bisa dikendalikan. Orang gak berguna jadi berkurang jumlahnya. Hehehe..." Saya: "Wah, saya jadi teringat mantan presiden di negara kami yang mirip dengan Anda. Lalu soal pencitraan yang Anda lakukan, kabarnya Anda menulis sebuah buku juga. Apa maksud Anda membuat buku yang isinya soal kehidupan sehari-hari Anda selama jadi presiden Endonesa?" Geje: "Cita-cita saya itu sebenarnya menjadi seniman. Saya juga suka menyanyi dan bikin lagu. Buat keseimbangan lah. Jadi presiden itu kadang bosan juga. Harus senyum-senyum kepaksa. Ketawa juga kadang kepaksa. Nah untuk melepaskan diri dari keterpaksaan itu, saya menulis. Kadang puisi, kadang lirik lagu, dan terakhir ini saya nulis buku." Saya: "Di buku Anda ini dituliskan kalau menu makan siang yang paling sering adalah berupa soto ayam. Apa itu tidak mempengaruhi pencitraan yang selama ini bapak lakukan?" Geje: "Oh, tentu tidak. Saya bukan bercerita soal pencitraan. Saya mengajarkan soal standar hidup. Kalau soal pencitraan itu terserah masyarakat mau menilainya seperti apa. Itu tidak mempengaruhi penilaian mereka terhadap kinerja saya. Yang terpenting bagi saya adalah memimpin negara dengan jujur, tegas, dan adil. Pencitraan diri itu penilaian nomor sekian. Saya juga belajar banyak dari pemimpin negara Anda yang sekarang. Hehehe..." Saya: "Jadi pencitraan itu tidak penting? Lalu apa hubungannya standar hidup dengan soto ayam?"

Pak Geje mengganti posisi duduknya. Tubuhnya condong ke depan. Matanya lurus menatap saya.

Geje: "Begini bung Victor. Pencitraan itu penting, tapi gak terlalu penting. Sebagai seorang presiden, perlu juga jaga wibawa. Kalau di depan umum janganlah tertawa terbahak-bahak atau pakai baju seperti yang Anda kenakan sekarang. Seorang presiden juga perlu menjaga penampilan. Tapi tidak boleh juga berlebihan. Yang menilai banyak kalangan. Gak cuma rakyat saja, tapi pemimpin-pemimpin negara tetangga bahkan dunia. Pencitraan itu penting untuk dilakukan, tetapi juga dibarengi dengan kinerja yang bagus dan tidak mengecewakan. Saya ini terpilih dengan lebih dari 70% suara rakyat, tanggung jawab saya menjaga amanat dari rakyat."

Pak Geje lalu berdiri.

Saya: "Lho, pak presiden mau kemana?" Geje: "Saya haus. Minta minum. Hehehe..."

Salah seorang tim kreatif datang dan memberinya segelas air putih. Setelah minum, pak Geje duduk kembali.

Geje: "Nah, tim kreatif Anda pintar. Dia tahu saya mau bicara soal standar hidup." Saya: "Oia, saya sampai lupa soal soto ayam. Hubungannya dengan standar hidup apa?" Geje: "Begini. Kalau saya makan pizza atau steak, atau kambing guling misalnya untuk menu makan saya, banyak rakyat saya yang belum mampu untuk menyantap hidangan yang saya makan. Atau jika saya minum sirup dan sejenisnya, minuman mahal lah pokoknya, banyak juga rakyat yang belum mampu membelinya. Tapi saat saya, sebagai seorang presiden, makan soto ayam dan minum air putih, orang bisa dengan bangga berkata: 'presiden saja makan soto ayam dan minumnya air putih.' Mengerti maksud saya?" Saya: "Tidak. Maksudnya bagaimana?" Geje: "Hehehe... ternyata Anda gak lebih pintar dari ajudan saya. Begini. Ehm ehm. Banyak orang di jaman sekarang suka membuat standar hidup yang terlalu tinggi. Kalau standar hidup itu tidak dipenuhi, banyak orang tidak atau belum merasa bahagia. Contohnya saja, kalau sebuah keluarga belum mempunyai mobil, rasanya kurang sejahtera. Atau sebuah keluarga tidak pernah makan pizza, dianggap tidak bahagia. Kalau hal-hal kecil tidak bisa membuat kita bahagia, betapa menyedihkannya?" Saya: "Baiklah, saya mengerti..." Geje: "Tunggu bung Victor. Saya masih belum selesai bicara."

Pak Geje mulai berapi-api matanya. Saya menjadi takut untuk menatapnya.

Geje: "Masalahnya disini sederhana saja. Soto ayam itu makanan sejuta umat. Siapa saja bisa makan soto ayam. Saya juga menuliskan di buku itu kalau makan malam saya hanya nasi tempe dan sayur kangkung. Sarapan saya yang agak mewah, nasi goreng dengan ayam goreng. Kadang nasi dengan ikan bandeng. Saya hanya berusaha mengatakan bahwa standar hidup itu tidak perlu terlalu tinggi. Sekarang jaman sudah semakin susah. Ukuran pencapaian untuk sebuah keberhasilan semakin tinggi untuk digapai. Ya harus punya mobil mewah lah, harus punya rumah berlantai keramik lah, harus makanfast foodlah, harus punya ini lah, itu lah. Buat rakyat yang tidak bisa menggapai itu semua, lalu akan menganggap dirinya gagal dan dicap sebagai orang sial. Meskipun dia sudah berusaha maksimal. Itu kan gak adil namanya? Saya: "Jadi, Anda memberikan teladan bahwa dengan makan soto ayam tidak akan merendahkan derajat rakyat secara sosial?" Geje: "Tepat sekali. Anda bertambah pintar rupanya. Hehehe... kalau keberhasilan disimbolkan dengan nasi tumpeng, bentuknya kan kerucut, semua orang berlomba mendaki untuk mencapai puncak. Kan tidak semua orang bisa. Hanya segelintir orang yang bisa mencapai puncak tumpeng itu. Bagaimana dengan orang-orang yang jatuh tergelincir dan tersingkir? Mereka akan menganggap hidup tidak lagi berguna. Mereka ini yang sebenarnya saya angkat derajatnya. Tidak perlu harus makan daging agar bisa dikatakan hidup layak dan bahagia, cukup soto ayam atau nasi dan lauk ala kadarnya." Saya: "Apakah hal ini diajarkan juga untuk bawahan Anda?" Geje: "Tentu saja. Kalau menolak saya tembak. Hehehe... Di negara Anda ini presiden sepertinya kurang punya taji. Ada menteri minta sedan Camry diberi. Di negara saya semua menteri naik mobil yang biasa. Saya tetapkan harganya tidak lebih dari 200 juta. Terserah mau beli mobil bekas juga tidak apa-apa. Anggarannya cuma 200 juta per kepala. Kalau sudah selesai menjabat, mobilnya akan kami lelang. Begitu seterusnya. Jadi menteri tidak boleh manja. Mereka kan cuma pembantu saya. Saya sendiri dipilih rakyat. Makanya aneh kalau saya melihat siaran TV tentang wakil rakyat disini yang mau bangun gedung kantor sampai trilyunan. Itu namanya tidak mencontohkan standar hidup yang baik untuk rakyatnya. Boleh lah kalau 90% penduduknya sudah diatas sejahtera, tapi kalau 90% penduduknya adalah orang gak punya? Sinting itu namanya! Sudah tak tembak kalau di negara saya. Hehehe..." Saya: "Satu pertanyaan terakhir untuk Anda. Apa saran Anda untuk kemajuan Indonesia?" Geje: "Saran saya hargailah perbedaan. Negeri saya sebetulnya sama persis dengan negeri Anda. Hanya saja, di negeri saya orang tidak terlalu mempersalahkan perbedaan. Perbedaan itu kami jadikan kekayaan malahan. Kekuatan. Kami belajar saat negeri kami dijajah negara Beranda, salah satu negara di benua Eropah. Saat itu perbedaan dijadikan taktik untuk memecah belah. Jadinya kami diadu domba agar tidak bisa bersatu untuk mengusir mereka. Tapi kakek saya yang dulu ikut berjuang bisa melihat hal ini sebagai kelemahan bangsa kami. Lalu kakek saya menyerukan persatuan. Dan Beranda bisa kami usir dari negeri Endonesa. Semua antek dan pengkhianat yang ketahuan jadi biang keladi adu domba, sama kakek saya ditembak. Hehehe... Saya: "Baiklah. Teri..." Geje: "Sebentar. Saya belum selesai bicara. Saran saya yang lain yaitu pemimpin harus dekat dengan rakyat. Gak perlu minta fasilitas berlebihan. Kalau hanya untuk alasan keamanan, yang diperlukan hanya ketegasan. Kalau pemimpin sudah dekat dengan rakyat, pasti mau tidur di kamp pengungsian. Bukan tidur di tenda khusus yang pakai AC. Juga mau makan makanan yang sama dengan apa yang dimakan rakyatnya dan mau mendengarkan curahan hati rakyatnya. Kan enak tuh duduk satu meja makan sambil ngobrol bersama. Kalau sudah begitu, gak mungkin pemimpin itu punya musuh. Mungkin ada, tapi berasal dari lawan politiknya. Tapi ya seperti yang saya sudah bilang: kalau sudah tegas, musuh pun gak mungkin beringas. Hehehe..." Saya: "Ok. Sudah selesai?" Geje: "Sudah.. sudah. Saya juga ada janji mau ketemu presiden Anda setelah ini. Membicarakan hubungan antar galaksi." Saya: "Baiklah. Terima kasih atas kedatangan Anda kemari. Semoga petuah Anda bisa menjadi manfaat buat kita semua." Pak Geje lalu menjabat tangan saya dan menyelipkan sebuah kertas. Dia lantas berbisik, "saya belajar soal standar hidup tadi juga dari seseorang di bumi. Bacalah isi kertas ini baik-baik. Negeri Anda ini punya potensi yang besar sekali untuk menjadi berhasil dan terpandang di muka bumi. Hanya saja dibutuhkan pemimpin yang bijak dan berhikmat. Juga harus punya nyali dan taji seperti saya ini. Hehehe..." Gambar: pribadi. Foto wajah pak Geje.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline