Lihat ke Halaman Asli

Selamatkan Otakmu!

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_288942" align="alignnone" width="194" caption="sebelum ia mematikan otakmu."][/caption]

Saya selalu menyelamatkan hari-hari saya dengan tidak menonton televisi di pagi hari. Terlalu banyak kesedihan, terlalu banyak penderitaan yang diperlihatkan oleh televisi. Apa tidak ada lagi berita baik yang bisa diceritakan kepada pemirsanya?

Oleh televisi, kasus pembunuhan dengan cara mutilasi, dan cara-cara keji lainnya dijelaskan secara rinci. Lama-lama penjahat bertambah pintar dan tidak jarang informasi dari televisi malah memberi inspirasi.Seperti seorang istri yang merajang suaminya seperti mengiris bawang, dan menyebarkan potongan-potongan tubuhnya ke seluruh pelosok pulau Jawa. Ketika tertangkap dan ditanyai wartawan, wanita itu mengaku bisa berpikiran seperti itu setelah melihat kasus Ryan Jombang. Atau berita tentang seorang pria tua yang pintar membuat alibi saat membunuh menantunya sendiri. Setelah nyawa menantunya hilang, pria tua itu menggantungnya agar terlihat seperti bunuh diri. Setelah itu pura-pura minta tolong ke tetangga karena menemukan menantunya menggantung di kamar mandi. Setelah dicecar polisi, pria tua itu mengakui kalau cara dia membuat alibi terinspirasi dari sebuah acara berita kriminal di televisi.

Tidak hanya kasus kriminal saja yang membuat saya gerah menonton televisi. Tetapi juga ketika melihat sinetron yang tidak mendidik, tayangan pembodohan kepada publik, juga acara debat politik yang tidak jelas ujung pangkalnya, dan apa kesimpulannya. Ucapan klise yang dilontarkan narasumber, kebohongan yang disembur-semburkan kepada media, juga acara-acara yang semuanya telah dibuat skenarionya. Kenapa tidak katakan saja apa adanya? Setelah terbongkar kasusnya, baru lah narasumber minta maaf ke media. Apakah kemudian semua waktu yang dihabiskan pemirsa untuk menyimak dusta demi dusta yang diucapkan sebelumnya bisa dianggap impas begitu saja?

Muak. Kata yang paling pas saya ucapkan sekarang. Melihat berita yang selalu ditutupi kebenarannya. Hanya berita tentang orang mati saja yang merupakan sebuah fakta. Lainnya? Selama orang yang diberitakan masih bernafas di dunia, tidak ada jaminan bahwa apa yang dikatakannya kepada media televisi adalah sebuah kebenaran. Lalu apa gunanya menonton berita jika tidak ada kebenaran disana? Kalau sebagian besar isinya berita bohong semua. Jika dipilah-pilah, berapa persen konten berita yang berupa kebenaran di lapangan?

Sedih.Melihat berita yang diulang-ulang tanpa pernah ada solusinya. Banjir di Jakarta, lumpur Lapindo, kemiskinan di kota besar, penggusuran pedagang kaki lima, unjuk rasa yang berujung tindakan anarkis, sengketa lahan, kericuhan di pengadilan, korupsi yang dilakukan orang-orang yang berkuasa, dan sebagainya dan seterusnya, seolah tidak ada habisnya. Apa gunanya menambah informasi sampah ke otak penontonnya?

Khawatir.Perasaan yang saya rasakan setelah mematikan televisi dan beranjak pergi dari kursi. Memikirkan kejadian-kejadian yang terjadi di berbagai belahan bumi. Ada orang-orang yang kehilangan anggota keluarganya, polisi yang bentrok dengan mahasiswa, kebakaran, racun dalam makanan, kenaikan harga kebutuhan pokok, juga kejadian kecelakaan lalu lintas akibat kelalaian manusia dan memakan banyak korban jiwa. Belum lagi berita tentang bencana seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, angin kencang, dan fenomena alam lainnya yang merugikan manusia. Hingga kemudian saya berpikir: kapan giliran saya mendapatkan "jatah" tampil di televisi karena sesuatu yang saya alami?

Bosan.Dengan drama yang hanya menampilkan air mata, kekerasan dalam rumah tangga, gaya hidup mewah, aib yang didramatisasi, dialog sinetron yang penuh dengan ucapan klise, acara yang hanya menawarkan mimpi, hingga tayangan yang diklaim sebagai realita tetapi ternyata hanya sebuah skenario cerita. Padahal nyatanya, hidup tidak seperti yang terlihat di layar kaca. Tidak ada perjuangan yang instan. Semua butuh proses. Tetapi hal ini jarang diajarkan oleh televisi yang hanya mengejar rating dan pemasukan dari jumlah SMS.

Saya mendambakan televisi yang bisa mendidik pemirsanya. Saya mendambakan televisi yang bisa memberikan informasi berguna untuk penontonnya Saya mendambakan televisi yang bisa menghibur penontonnya. Saya mendambakan televisi yang bisa mengajarkan budi pekerti yang baik kepada masyarakat secara luas. Saya mendambakan televisi yang bisa memberikan inspirasi kehidupan. Saya mendambakan televisi yang tidak berisikan adegan kekerasan. Saya mendambakan televisi yang tidak menyajikan kabar dusta. Saya mendambakan televisi yang tidak menambah beban pikiran kepada orang-orang yang menyaksikan tayangannya.

Tapi sepertinya hal itu tidak mungkin terjadi. Tidak di dunia ini, tetapi di dunia mimpi.

Mungkin benar apa yang dikatakan seorang bijak: televisi jaman sekarang tidak lain halnya seperti "kotak bodoh" yang tidak memberikan manfaat apa-apa. [Catherine Lanigan]

*) Gambar diambil darisini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline