[caption id="attachment_260184" align="alignright" width="201" caption="Bahaya Laten Komunis"][/caption] Orang yang menghalang-halangi orang lain untuk beribadah sesuai kepercayaannya adalah setan. [Joko Anwar, penulis dan sutradara] Akhir-akhir ini dunia sedang gempar dengan isu penistaan dan kekerasan antar umat beragama. Di Amerika Serikat, seorang pendeta mengancam akan membakar kitab suci Al Quran untuk memperingati 11 September. Hal itu menimbulkan kecaman yang tidak saja datang dari umat muslim di negara tempat aksi itu direncanakan, tetapi juga dari seluruh negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, termasuk Indonesia. Bahkan presiden Indonesia sampai mengirim surat kepada presiden Amerika Serikat, menginginkan agar pemerintah setempat menggagalkan aksi bigot tersebut. Tidak saja dari umat muslim saja kecaman itu datang, bahkan umat agama lain juga ada yang menentang tindakan penistaan terhadap agama yang dilakukan oleh seorang pendeta sebuah komunitas. Tujuan pendeta itu membakar kitab suci agama islam masih belum jelas (sepertinya kurang pas jika hanya karena memperingati 11 September), tetapi efek dari rencana yang kemudian di blow-up media sangat jelas: demonstrasi di banyak negara yang mengakibatkan puluhan orang terluka. Di Indonesia aksi bigot yang di blow-up media adalah penusukan terhadap pendeta dan seorang penatua sebuah gereja komunitas, oleh sekelompok orang yang memakai atribut dan aksesoris umat muslim. Beberapa minggu sebelum peristiwa itu terjadi, di tempat yang sama, terjadi aksi penutupan gereja dan pelarangan paksa sejumlah besar massa (yang lagi-lagi memakai atribut dan aksesoris umat muslim) terhadap jemaat gereja yang akan beribadah. Hal ini kemudian meluas (mungkin latah) hingga ke sebuah daerah, masih di propinsi yang sama. Di daerah itu warganya memprotes pembangunan rumah pastor paroki. Warga sekitar khawatir kalau rumah pastoral itu merupakan bentuk dari perluasan gereja. Laluuntuk mencegah kejadian yang sama di tempat yang berbeda, pihak gereja dan tokoh masyarakat mengambil tindakan dialog dengan pengawalan ketat dari pihak kepolisian.
Lalu saya berpikir: apakah ini semua adalah sebuah aksi sebab-akibat? Atau semua itu adalah sebuah rangkaian kejadian yang direncanakan segelintir orang untuk kepentingan tertentu?
Saya hanya membacanya demikian: di setiap berita atau forum yang membahas aksi bigot ini, sejumlah orang berkomentar bahwa agama adalah sebuah alat untuk mengadu domba saja. Bahwa Tuhan itu tidak ada. Karena jika Tuhan ada, pasti Dia tidak akan membiarkan kekerasan akibat pergesekan umat beragama itu terjadi. Bahkan pernah saya membaca sebuah komentar: God was dead (Tuhan sudah mati). Yang lalu dibalas dengan komentar: God is not dead, but unemployed (Tuhan belum mati, cuma menganggur). Tuhan menganggur karena tidak ada lagi manusia yang percaya dan patuh kepadaNya, bahkan beberapa pemuka agama seenaknya memutarbalikkan ayat-ayat kitab suci sesuai kebutuhan dan kepentingan dirinya. Membaca tanggapan dan komentar-komentar "anonim" itu menggugah kesadaran saya, bahwa lewat sejumlah peristiwa yang terjadi belakangan ini, dan masih mungkin terjadi kembali, beberapa orang mulai diajak berpikir atheis, tidak lagi mempercayai Tuhan dan memeluk agama. Bahkan sudah mulai terlihat, beberapa orang terkenal di luar negeri sana terang-terangan mengaku dirinya adalah agnostik. Tidak beragama, tetapi masih percaya adanya Tuhan. Entah yang dia maksud Tuhan atau tuhan. Saya percaya akan adanya dendam kesumat yang disimpan di hati. Saya masih percaya kalau kekerasan akan mengakibatkan kekerasan di kemudian hari. Lalu saya berpikir lebih jauh lagi tentang berbagai isu kekerasan akibat agama di negara ini: apakah ini semua ulah ex PKI? Kita yang belajar sejarah pasti tahu bagaimana perlakuan pemerintah di masa transisi (orde lama ke orde baru) kepada anggota partai komunis tersebut. Bahkan orang-orang yang hanya dicurigai sebagai anggota PKI bisa saja mati dibantai oleh oknum tertentu. Tercatat puluhan ribu orang yang mati pasca G30S. Bisa dibayangkan berapa ratus ribu orang yang merasa kehilangan? Belum sampai disitu saja "penyiksaan" terhadap para ex simpatisan PKI. Keluarga dan saudara orang-orang yang dicurigai sebagai anggota PKI pun kemudian dikucilkan oleh negara. Tidak bisa menjadi pegawai negeri, KTPnya ditandai, bahkan dipersulit untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas negara yang menyangkut administrasi. Dalam keadaan terluka, hasutan untuk balas dendam akan dengan mudah dilakukan sejumlah orang yang memang tidak suka dengan NKRI. Lalu diambillah jalan untuk konspirasi menghancurkan negeri. Karena isu SARA adalah isu yang paling sensitif untuk menggerakkan sebagian besar manusia, diambillah topeng agama mayoritas untuk menutupi wajah sebenarnya. Bukankah siapa saja bisa memakai aksesoris dan atribut agama tertentu? Saya menuliskan ini sebagai reaksi saya terhadap berbagai peristiwa yang terjadi belakangan di berbagai belahan bumi. Komunis Sovyet yang mulai hilang pengaruhnya di Eropa, bisa saja sedang melakukan mobilisasi membentuk kekuatan kembali. Komunis Korea Utara bahkan mulai menunjukkan kekuatannya. Jika setelah Jerman Timur (komunis) runtuh dan banyak negara yang memisahkan diri dari Uni Sovyet (sekarang Rusia) akibat beda ideologi, bukan tidak mungkin mereka yang masih menganut paham komunis sedang mencari simpatisan lagi. PKI menjadi besar di Indonesia saat itu karena awalnya dianggap pro rakyat kecil. Bahkan pendekatan kepada rakyat dilakukan melalui budaya: seni wayang, tari-tarian, dan sebagainya. Saat itu belum ada partai yang berpikir sampai ke arah sana. Paham komunis berjaya karena saat itu sejumlah besar penduduk dunia sedang mengalami krisis kepercayaan kepada negaranya, akibat sejumlah perang di berbagai belahan dunia, terutama efek perang dunia II di Eropa. Kemiskinan akibat perang dan perasaan sedih yang mendalam akibat kehilangan orang-orang tercinta, pada akhirnya bisa berakibat sebuah krisis kepercayaan dan krisis moral pada sebuah generasi bangsa. Bukankah hal yang hampir sama sedang terjadi di berbagai belahan dunia dengan peperangan di beberapa negara? Bahkan negara kita juga hampir sama keadaannya: krisis kepercayaan kepada pemerintah, kemiskinan yang angkanya semakin bertambah tiap tahunnya, belum lagi pendidikan yang belum merata kepada seluruh warga negara Indonesia, semakin memungkinkan penetrasi ideologi baru kepada sejumlah orang di Indonesia. Bisa jadi inilah bahaya laten komunis yang mencoba mencari pengaruh lagi di negara kita, yang notabene mempunyai ideologi pancasila.Mungkin pemerintah lupa. Atau pura-pura tidak menyadarinya. Entahlah. Semoga kita bisa belajar banyak dari sejarah. Bukankah itulah gunanya belajar ilmu sejarah? Agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Salam JAS MERAH!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H