Lihat ke Halaman Asli

[Cerpen] Kebun Kopi dan Gubuk Ingatan

Diperbarui: 1 April 2017   09:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri - Vicky Mokoagow - 2016

Matahari mulai merabung di Cakrawala. Gunung-gunung sedang melamun dibalik halimun yang enggan pergi dari pundaknya, sesekali mereka menertawai manusia-manusia berseragam yang sibuk lalu-lalang di jalanan.
Ah manusia-manusia, sedang mengejar apa kalian? Bahkan belum sempat saya ngopi, kalian sudah sok sibuk begini. Gumam Gunung, dalam batin.

Begitulah senin pagi di dusun kami, selalu sibuk dengan caranya sendiri.

Saya tak ke Sekolah, karena badan masih payah paska Diklat Prajabatan kemarin.

Diluar kamar bapak sedang sibuk siap-siap ke kebun. Bapak saya memang seorang pekebun yang ulung. Di saban hari, sehabis ngopi pagi, ia senantiasa berangkat ke Kebun dengan seragam kucelnya yang sarat noda, menggantungkan parang di pinggang, dan berjalan diatas lars kesayangannya. Pergi pagi dan pulang tak menentu; kadang sehabis Ashar, kadang Maghrib, kadang pula ia tiba saat kedua cucunya sedang asik menonton serial kartun Sopo & Jarwo.

"Ndak ke sekolah ky?" (Tidak ke sekolah ky?) Singgungnya sembari memasukkan kaki kedalam sepatu lars.

"Masih lalah, rupa ndak sehat le ini."
(Masih capek, badan serasa tidak sehat) Jawabku, malas.

"Atau mo ka kobong jo? Supaya refreshing lagi toh." (Atau ke kebun saja? Sekalian refreshing juga kan) Ajak bapak, penuh suka.

Saya hening, sembari menakar manfaat dan mudarat dari ajakan Bapak barusan.

Beberapa detik kemudian.

"Marijo dang. Mar mo baganti dulu." (Ayolah kalo begitu. Tapi saya ganti baju dulu)
Badan bergegas menuju lemari, mencari pakaian lusuh untuk seragam ke kebun. Dan senin kali ini, saya memilih kebun. Maafkan Kepsek.

*

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline