Minggu, 10 juli 2016. Hingga sesampainya esai ini mencapai paragraf ke delapan, sungguh badan saya belum menyentuh tilam yang memulas istri dalam lelap menjelang senin pagi, bahkan dalam tempo sedetikpun.
Sengaja saya membunuh seperempat hari sejak dzuhur hingga matahari diredam malam dengan tak melakukan kegiatan-kegiatan yang berujung peluh dan kelelahan. Semisal pergi ke pantai yang sedang padat dikunjungi manusia-manusia yang butuh piknik di hari ke-4 (empat) lebaran.
Memilih santai dan tidur-tiduran edisi kalini, tentu adalah sikap jelas; untuk menjaga seluruh indra agar senantiasa siap-siaga dihadapan layar kaca malam hingga pagi esoknya. Lolos dari godaan kantuk yang terkutuk, biar siap memasang badan sebagai saksi sejarah pertarungan puncak empat tahunan sekali di Stade De France. Portugis, Negeri asal Alfonso de Albequerque, yang siap menantang dengan tak main-main, Perancis, Negeri yang diberikan mandat untuk sibuk berdandan sebagai tuan rumah.
*
Malam selepas isya. Agar final kali ini tak hambar terasa, saya memerlukan bumbu-bumbu referensi untuk memperkuat wawasan dan mengatasi rasa penasaran agar tak sebatas jadi penonton awam. Maklum, sejak Euro edisi kali ini digulir, saya lebih tertarik dengan Negeri Tiga Singa (The Three Lions), yang gagap didedap Islandia dan pamit duluan saat fase 16 besar. Jadi wajarlah jika ensiklopedia mengenai Perancis dan Portugal luput dari perhatian. Paling-paling permukaannya saja yang sering digembar-gemborkan media; semacam Produktivitas Griezman, Payet yang baru muncul ke permukaan setelah sekian lama dilupakan, Ronaldo yang sempat frustasi hingga membuang microphone milik seorang jurnalis ke sebuah empang tak berdosa atau Portugal yang mencapai puncak Euro kali ini (katanya) penuh dengan bantuan sihir Dewi Fortuna.
Dengan kondisi jaringan tri yang menyedihkan ditambah kuota yang pas-pasan, saya mengunjungi beberapa portal daring untuk membaca beberapa sajian prediksi dan segala macam bentuk ulasan yang ditulis dengan teliti dan kadang sedikit mengada-ada para pandit sepakbola. Dari yang mencantumkan data dan fakta, hingga yang sebatas spekulasi. Perjumpaan Portugal vs Perancis memang sedang ngetrend, jadi dagangan laris dan cukup seksi untuk diulas dan diwartakan, dibanding gembar-gembor soal macet-macetan arus balik paska mudik yang selalu sama dan tak menarik itu. Wajarlah jika di hampir seluruh media --di maya maupun nyata--, memajang sejoli Negeri di benua biru ini sebagai headlines yang dramatis.
*
Dua Orang Tamu
Pukul 21.00 WITA. Malam yang lenggang di dusun kami dan hawa dingin yang selau sama. Saat lenggang, entah itu malam atau siang, saya sengaja membiasakan diri untuk membaca buku. Buku yang mendapat giliran dijamah pada lenggang malam kali ini adalah kumpulan tulisan Orwell yang terbitkan salah satu penerbit Indie asal Jogja berjudul "Bagaimana si Miskin Mati". Sedang khusyuk menyelami esai-esai Orwell yang selalu khas dengan anti-imperialisme beserta paragraf yang panjang, saya kedatangan sepasang tamu. Dua karib saat bocah dulu ternyata; saat masih doyan bermain lumpur dan mandi di sungai, di kaki gunung. Keduanya adalah sahabat kecil yang beberapa tahun terakhir hidup di perantauan, Epen & Dandy. Epen melewati hampir selusin tahunnya di Papua, Bandung dan beberapa kota di Jawa dan Sulawesi. Sedangkan Dandy adalah Mahasiswa semester 13 disalah satu kampus swasta Gorontalo yang jarang pulang kampung karena terlanjur sibuk menggiati dunia Aktivis.
Pertemuan kami berlangsung hangat disakisan kepulan asap tembakau, kue-kue kering lebaran yang ringkih dan beberapa botol minuman bersoda berlabel Amerika yang dituang setengah-setengah, di gelas-gelas kaca. Obrolan panjang digelar. Soal masa-masa bocah dulu, kampus, pemuda, budaya, hingga yang mengada-ngada. Syukur, gumamku dalam hati; begadang menanti final Euro kali ini tak perlu dilewati dengan semedi ataupun tirakat disamping istri yang selalu tak acuh dengan sepakbola, sembari menjaga-jaga alarm berbunyi disamping telinga. Tentu, menunggu bola paling tak asik untuk seluruh suami dimuka bumi ini, adalah menjadi satpam disamping lelap istri yang tak hobi bola.
Percakapan kami terus berlanjut. Malam berangsur larut menuju ufuk di batas dini hari. Malam yang diam-diam mengupingi obrolan saya dan sepasang bujangan tentang kebajikan-kebajikan yang belum kami tunaikan, juga kenangan-kenangan yang tak boleh diabaikan. Saya menengadah ke arah jam dinding. Jarum pendek menuding angka dua. Yap, sedikit lagi tirai sejarah akan dibuka, menjawab penantian manusia-manusia penikmat sepakbola di seantero jagad raya.