Proyek Sound of Borobudur sudah bikin cukup banyak orang tepuk tangan. Tapi kini kita jadi bertanya-tanya, kalau memang Sound of Borobudur akan membuat Borobudur jadi pusat musik dunia, lantas apa manfaatnya buat bangsa kita?
Sekilas tentang Latar Sound of Borobudur
Buat Anda yang baru mendarat di artikel ini setelah memencet link di account social media saya, saya ingin cerita dulu tentang Sound of Borobudur.
Kita hafal sekali bahwa Borobudur adalah candi besar yang jadi objek wisata favorit orang banyak. Alasannya, sangat membanggakan jika bisa foto-fotoan di depan candi. Mungkin sesekali selfie di dinding Borobudur yang penuh relief.
Kalau ditanya itu reliefnya berbentuk apa, jarang ada yang bisa mengerti. Mereka cuma tahu ada salah satu reliefnya berbentuk gambar orang, lainnya gambar kembang, mungkin ada yang bergambar gajah, gitu aja.
Jadi wajar kalau jarang ada yang jeli, bahwa ada puluhan relief di dinding Borobudur yang berbentuk alat musik. Lebih parah lagi, tidak banyak yang jeli bahwa sebagian instumen musik yang dipahat sebagai relief itu, sekarang tidak ada di Jawa, tapi ada di luar Jawa.
Ini jadi isu yang cukup pelik karena di kalangan orang Indonesia sendiri, orang masih menganggap Borobudur sebagai monumen kuno semata. Borobudur hanya dianggap sebagai monumen yang kebetulan berada di Magelang. Mungkin yang paling cinta pada Borobudur adalah rakyat Jawa Tengah, sedangkan rakyat propinsi lain pun boro-boro, apalagi mengharapkan rakyat di luar pulau Jawa mencintai Borobudur.
Karena tak cinta-cinta amat itu, maka membayar tiket masuk Candi Borobudur hanya sebatas untuk foto-fotoan. Tapi tidak paham bahwa dinding Borobudur dengan relief-reliefnya itu sarat ilmu. Dan jika ilmu itu dipelajari benar-benar, kita akan memahami suatu value yang kini hampir hilang dari identitas kita sebagai bangsa Indonesia, yaitu identitas keanekaragaman.
Bagaimana caranya di Borobudur bisa ada relief sampe, padahal sampe itu bukan alat musik orang Jawa, melainkan instrumen Dayak? Ini pertanda bahwa penduduk Jawa dan Kalimantan sebetulnya masih berkerabat. Kalau memang berkerabat, seharusnya ya sering bekerja sama. Istilahnya di masa kini, jangan ada gap antara orang Jawa dan orang Dayak, kira-kira begitu.
Saya balik lagi ke Sound of Borobudur. Dari relief berbentuk instrumen di dinding Borobudur, para seniman yang digawangi Trie Utami dan Dewa Bujana rupa-rupanya terilhami untuk menciptakan ulang instrumen-instrumen yang dipahat di relief-relief itu. Instumen itu kemudian dibikin lagi dengan bentuk yang diupayakan sama persis dengan bentuk yang ada di relief.
Setelah instrumen itu jadi, lengkap bisa dibunyikan, maka seniman-seniman Sound of Borobudur membuat komposisi lagu. Tercipta sekitar selusin lagu, lalu dipertunjukkan dalam konser yang diproduksi musisi Purwa Caraka. Konser ini rupanya sudah diselenggarakan di kawasan Magelang, dengan melibatkan kelompok seniman bernama Jaringan Kampung (Japung), Anda bisa cari sendiri linknya di YouTube Sound of Borobudur.
Tapi kegiatan Sound of Borobudur nggak cuma bertujuan melahirkan instrumen di relief Borobudur kembali. Panitianya punya agenda lebih lanjut: Mengkampanyekan bahwa Borobudur sebetulnya adalah pusat musik dunia.