Lihat ke Halaman Asli

Vicky Laurentina

Food blogger Indonesia

Rindu Bulan Ramadan yang Banyak Temannya

Diperbarui: 16 April 2021   23:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pexels.com

Waktu kecil, yang bikin saya rindu bulan Ramadhan adalah bantuin ayah saya mengirim kartu Lebaran.

Setiap tahun, ayah saya punya kebiasaan mengetik alamat teman-temannya di label. Label itu akan ditempel di amplop kartu Lebaran yang sudah dicetak atas nama ayah saya. Saya selalu disodori tugas menempeli label-label itu, dan saya senang banget. Lebih senang lagi ketika mengenali nama teman-temannya yang rasanya pernah akrab dengan saya.

Biarpun saya masih kecil, sekitar usia 6-7 tahun begitu, tapi saya cukup familiar dengan teman-teman ayah saya. Soalnya, ayah saya sering memperkenalkan teman-temannya kepada saya. Katanya, "Ini Om X, ini Om Y, dan lain-lain.."

Berkat saya ditugasi menempel label alamat itu, saya jadi hafal teman-teman ayah saya tinggal di kota mana saja. Dampaknya, saya jadi lebih mudah menghafal pelajaran geografi, karena saya bisa mengasosiasikan nama suatu kota dengan nama teman ayah saya.

Yang suka kirim-kirim kartu Lebaran itu tidak cuma ayah saya. Teman-temannya pun membalas kartunya, dengan kartu yang memakai cetakan nama mereka juga. Kesannya keren gitu.

Lalu ayah saya pun selalu menandai siapa temannya yang mengirim kartu balik. Yang membalas kartu, tahun depannya akan dikirimi lagi. Yang tidak membalas kartu, tahun depannya tetap dikirimi. Tapi yang tidak membalas kartu sampai dua tahun berturut-turut, akan diselidiki oleh ayah saya.

Biasanya, yang tidak membalas itu ternyata pindah rumah tanpa bilang-bilang. Atau meninggal dunia.

Ibu saya pernah bilang, "Kalau orang mengirimi kita selamat Lebaran, berarti orang itu masih mau silaturahmi dengan kita."

Saya pun mencatat itu baik-baik dalam hati.

Lalu saya belajar, kadang-kadang orang tidak membalas kartu bukan karena pindah rumah. Orangnya masih sehat kok. Tapi ternyata, dia tidak sempat untuk mencetak kartu Lebaran atas namanya sendiri (pada zaman dahulu, kalau mau mencetak kartu Lebaran, itu harus pesan seminggu sebelumnya).

Ada juga yang memang tidak mencetak kartu Lebaran. Sebagai gantinya, dia pergi ke toko buku dan memborong banyak kartu Lebaran. Kalau dipikir-pikir sebetulnya lebih mahal sih daripada mencetak kartu sendiri. Makanya orang kadang terpaksa bikin skala prioritas, siapa yang harus dikirimi kartu dan siapa yang tidak kebagian dikirimi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline