Bebi May Resha
"Biarin aja. Lagi tanggalnya kali," ucap Censi. Dia duduk dan mengambil makanan tanpa beban.
Aku menengok ke arah kamar Mbak Adel. Bukan maksud sengaja terlambat menjemput Mbak Adel. Yah, sebagian karena lupa. Selebihnya karena ujian statistik. Tahukan bagaimana rumitnya statistik?
Mentang-mentang aku menyukai angka, tanpa pikir panjang aku memilih jurusan matematika. Hasilnya luar biasa. Seperti bom waktu. Aku bisa meledak sewaktu-waktu karena kerumitan rumus.
Beruntung Censi mengingatkanku. Langit kelabu bergemuruh. Ada ragu untuk segera ke kampus Mbak Adel. Jarak kampusku dan Mbak Adel cukup jauh. Kalau tidak dijemput sekarang, kasihan juga sih.
Akhirnya Censi menemaniku dengan motornya sendiri. Kami berpacu dengan waktu. Langit telah menampung air yang cukup banyak hingga terlihat menggelap. Kurasakan percikan air dari atas mengenai punggung tanganku.
Kasihan Mbak Adel
Censi lebih dulu menyalip. Dia kalau disuruh kebut-kebutan paling bahagia. Motor GP jadi tayangan favorit. Impiannya satu, bisa melaju di sirkuit. Kalau nggak bisa, jadi istri pembalap juga boleh.
Jiwa liarnya membuatku khawatir. Kami kembar. Namun berbeda. Ibaratnya dia adalah buah lemon, kalau aku lebih memilih buah kurma. Lemon seperti sebuah tantangan. Mengecap asamnya di lidah. Sama seperti hidupnya, penuh tantangan.
Aku pilih kurma. Jelas manis. Mana ada kurma asam? Hambar tidak mengapa, asal jangan asam.
Censi yang lebih dulu sampai kampus Mbak Adel. Saat aku tiba, dia mengatakan ada yang melihat Mbak Adel sudah pulang diantar teman. Kami pun berlomba dengan waktu.