Polusi Jakarta, sudah bukan wacana semata. Masalah ini sudah timbul sejak Jakarta berdaulat menjadi Ibu Kota. Nama Ibu kota menjadi daya tarik masyarakat untuk pindah ke Jakarta. Cerita menarik tentang bagaimana kesuksesan selama hidup di Jakarta adalah sebuah hal yang tidak bisa diingkari.
Setiap tahun, setidaknya setelah lebaran, masyarakat baik dari berbagai kota di Indonesia pindah ke Jakarta. Perpindahan ini tentu saja memberikan dampak pertumbuhan jumlah manusia yang hidup di kota yang sebentar lagi berubah status menjadi bukan Ibu Kota. Pertumbuhan manusia tentunya akan memberi dampak lanjutan. Salah satu dampak tersebut adalah mobilisasi.
Selain menggunakan angkutan umum, mobilisasi dilakukan oleh manusia secara umum menggunakan kendaraan pribadi. Sepeda, sepeda motor, dan mobil adalah salah satu jenis kendaraan pribadi yang digunakan untuk mobilisasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Kemudiaan akses kredit mempermudah masyarakat untuk mendapatkan kendaraan pribadi. Apalagi di kota sekelas Jakarta yang mana lokasi dari satu tempat ke tempat lainnya cukup berjauhan, mau tidak mau kendaraan pribadi adalah salah satu pilihannya.
Dampak dari kemudian membeli kendaraan pribadi. Akses kendaraan umum yang terbatas. Membuat jumlah kendaraan pribadi di Jakarta ataupun yang masuk ke Jakarta meningkat. Data BPS tahun 2022, di DKI Jakarta setidaknya ada 21,8 jt kendaraan dengan rincian 3,7 jt kendaraan penumpang, 17,3 jt sepeda motor dan sisanya adalah kendaraan niaga seperti truk dan bus. Jumlah tahun 2022 ini meningkat 4 persen dibandingkan dengan 2021. Dengan jumlah sebesar itu, bisa dibayangkan dampak polusi terhadap lingkungan calon mantan ibu kota ini.
Solusi diupayakan dalam mengendalikan polusi di Jakarta. Mulai dari pengendalian kendaraan seperti ganjil genap, penambahan kendaraan umum, dan juga rekayasa cuaca dan penyemprotan air dari gedung-gedung. Namun hal ini kurang membuahkan hasil. Karena faktor yang menjadi masalah tetap ada, yaitu jumlah peningkatan kendaraan dan kemacetan. Kebutuhaan akan mobilitas untuk bekerja menjadi salah satu alasan kenapa hal tersebut tidak bisa pecahkan.
Ketika covid19 menyerang Indonesia, pada saat itu untuk pertama kali polusi di Jakarta berkurang. Semua orang kecuali untuk mereka-mereka yang bekerja di sektor kritikal, melakukan work from home. Akibatnya untuk pertama kali orang Jakarta melihat Gunung Gede Pangrango dengan jelas. Kebijakan WFH selama pandemi, menyumbang berkurangnya secara signifikan jumlah kendaraan yang melintasi Jakarta.
Dengan alasan tersebut, kenapa kebijakan untuk pengendalian polusi ini tidak diarahkan untuk mengurangi jumlah kendaraan bermotor yang ada di Jakarta. Salah satu kebijakan yang bisa di pertimbangkan adalah menaikan tarif palkir. Di negara-negara yang memiliki ruang palkir kendaraan terbatas seperti contoh negeri jiran Singapura, tarif palkir sangat mahal. Seperti yang dilansir di artikel https://www.travelsingapura.com/biaya-parkir-di-singapura-sangat-mahal-inilah-alasannya/ , tarif palkir di Singapura bisa mencapai 12.500 rupiah per setengah jam. Bisa dibayangkan, untuk sekedar nongkrong di mall selama 4 jam. Anda butuh 100 rb rupiah. Dengan tarif yang luar biasa mahal tersebut, masyarakat akan berfikir dua kali untuk menggunakan kendaraan pribadi untuk mobilitasnya, dengan begitu jumlah kendaraan pribadi yang digunakan akan berkurang secara drastis yang juga akan berdampak kepada polusi di Jakarta.
Akhir kata, semoga pemangku kebijakan menemukan solusi yang tepat untuk permasalahan polusi di Jakarta tercinta ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI