Hampir sepekan ini pemberitaan diberbagai Media TV, Koran maupun online menghadirkan bencana tak berkesudahan. Mulai dari meletusnya Gunung Sinabung di Sumatera Utara, Banjir di DKI Jakarta hingga yang baru saja terjadi, Banjir Bandang di Manado, Sulawesi Utara, yang melumpuhkan aktivitas warga.
Tingginya intensitas curah hujan serta perubahan iklim menjadi salah satu penyebab hadirnya banjir di berbagai wilayah Indonesia. Tak hanya Jakarta dan Manado yang bernasib sama, Kabupaten Bandung Barat, Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sukabumi, Ciamis, Kabupaten Bogor, Garut, Cirebon, Aceh, Lampung Utara pun mengalami bencana banjir dan tanah longsor.
Perubahan iklim memang merupakan salah satu tantangan utama pada masa sekarang. Dari perubahan pola cuaca mempengaruhi produksi makanan hingga peningkatan permukaan air laut yang beresiko banjir. Dampak dari perubahan iklim memiliki lingkup global dan skalanya sangat besar. Tidak terkecuali Indonesia. Jika kita tidak siap, kita akan bernasib seperti Filipina yang diterjang Angin Topan Haiyan yang meluluhlantahkan daratan Filipina.
Lantas siapkah Indonesia dengan bencana? Anomali cuaca masih terus terjadi. Bahkan di tahun 2013 intensitas musim hujan jauh lebih tinggi dari pada tahun-tahun sebelumnya. Menurut BMKG sebagai otoritas lembaga pemerintah non departemen, seperti dirilis dalam websitenya, sangat sedikit musim kemarau yang terjadi di tahun 2013. Bahkan untuk tahun 2014, prediksi BMKG akan sama seperti tahun 2013.
Banjir Bandang, Tanah Longsor, masih terus saja terjadi di tengah curah hujan yang begitu tinggi. Nampaknya pemerintah belum puas melihat rakyat ditimpa bencana berkali-kali. Bahkan bencana yang datang lebih tampak seperti berkah sehingga banyak investor yang masuk menawarkan hutang berkedok bantuan.
Sampai sekarang, saya belum melihat keseriusan pemerintah dalam menghadapi anomali cuaca dan perubahan iklim yang berbuah banjir serta bencana alam lainnya. Hadirnya lembaga Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) belum memberikan manfaat bagaimana seharusnya kita menghadapi perubahan iklim ini.
Terlebih sikap sigap dari Gubernur, Walikota hingga Bupati sebagai aparatur negara yang berwenang di daerah dalam menghadapi anomali perubahan iklim. Sebut saja tanggap bencana Banjir. Sebagai eksekutor paling dekat dengan rakyat, kepala daerah harusnya lebih mengenal wilayah mereka dg baik sehingga mampu melakukan antisipasi bencana.
Himbauan dan data yang dikeluarkan oleh BMKG tentang besarnya volume dan intensitas curah hujan hanya sekedar himbauan kosong yang tak berarti apa-apa. Ini terbukti dengan terjadinya Banjir Jakarta dan Manado. Tidak ada pemberitahuan dari aparatur pemerintah daerah ke warga masyarakat untuk bersiap-siap menghadapi banjir. Tidak ada persiapan-persiapan pembangunan posko-posko dititik yang rawan terjadinya banjir serta bagaimana Menyiapkan lokasi pengungsian lengkap dengan sarana kesehatan, makanan yang layak dan selimut misalnya untuk persiapan pengungsian. Padahal jauh-jauh hari BMKG sudah mengingatkan akan potensi banjir ini.
Mudah-mudahan dari peristiwa Banjir Jakarta, Manado dan Daerah-daerah lain kita bisa berkaca. Bahwa mencegah lebih baik dari pada mengobati. Sekian…
Jakarta dalam Susana Banjir, 16 Januari 2014.