Lihat ke Halaman Asli

Viane Suwasa

Ibu Rumah Tangga, Novelis, Ilustrator, dan suka menulis puisi.

Jangan Biarkan Mereka (Anak-anak) Tumbuh Sendiri

Diperbarui: 27 Oktober 2020   09:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa hari lalu saya dikirimi sebuah cuplikan video melalui WhatsApp oleh teman saya. Menurutnya video itu tengah viral di jagat media sosial. Saya memutuskan untuk membuka video itu. Isinya tentang beberapa anak remaja yang sedang ngumpul di sebuah resto sambil menyombongkan diri dan pamer kekayaan. Lalu dilanjutkan lagi dengan beberapa video dengan tokoh yang sama dengan inti cerita yang sama pula. Saya melihat hal tersebut sambil tersenyum kecil dengan perasaan miris. Tapi, saya tidak dalam posisi menghakimi, bukan?

Ini bukan hal baru bagi saya. Sebelumnya banyak video singkat serupa yang memuat konten yang sama. Memamerkan kekayaan, dan mereka bangga walau akhirnya harus menerima hujatan seantero negeri. Dengan tujuan, yang penting terkenal. Hal ini membuat saya merenung. Sedemikian besarkah perubahan yang terjadi saat ini? Orang akan melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan sebuah pengakuan akan eksistensi hidupnya. Orang akan melakukan berbagai macam cara agar keinginannya tercapai.

Ya, dunia sudah berubah sedemikian rupa. Cara orang berkomunikasi juga berubah. Walau mungkin secara esensi komunikasi tetap sama tujuannya, yaitu untuk berhubungan satu sama lain baik secara personal maupun massa.

Saya memiliki tiga orang anak. Anak saya yang pertama terlahir sebagai generasi Z dan kedua anak saya yang lain dari generasi Alpha. Saya sendiri lahir di awal generasi milenial muncul. Suami saya berasal dari generasi X. Bisa dibilang, cara komunikasi kami berbeda. Bukan hanya itu, pemikiran-pemikiran kami pun berbeda. Pendekatan yang saya lakukan terhadap ketiga anak saya berbeda-beda, karena saya sadar mereka berasal dari generasi yang berbeda pula.

Sebagai orang tua, saya dan suami tidak cukup hanya menasehati. Tapi harus berdiri sebagai contoh hidup bagi anak-anak. Sebagai pembentuk fondasi awal karakter mereka kelak. Bagi saya, tiap keputusan dan pemikiran yang lahir dari tiap individu banyak dipengaruhi oleh keluarga dan lingkungan tempat dia bertumbuh.

Pernah saya bercakap-cakap dengan salah satu ibu petugas kebersihan yang sedang beristirahat makan siang. Di siang yang terik beliau meminta ijin untuk beristirahat di teras rumah saya. Saya mempersilahkan lalu memberinya segelas air putih dingin dan sebungkus roti. Setelah dia selesai menikmati makanannya, saya berinisiatif keluar lalu duduk di dekatnya. Dia mulai bercerita tentang kerasnya hidup.

Suami kerja serabutan dan dia terpaksa harus ikut menopang keluarga dengan bekerja. Anaknya ada lima. Luar biasanya, dia dan suami berhasil membesarkan dua orang polisi, satu perawat dan satu lagi bekerja di bank. Sedangkan si kecil masih kuliah. Dipikiran saya, bagaimana mungkin mereka bisa membesarkan anak-anak yang tumbuh menjadi orang hebat? Padahal dana seadanya, serta sempat beberapa kali mengalami kelaparan karena tidak ada uang untuk makan.

Ternyata, waktu keluarga itu penting. Selelah apapun dia dan suami, selalu ada waktu buat anak-anak. Mereka makan bersama dan bercakap-cakap hangat. Hubungan antara anak-anak dan orang tua erat. Orang tua memberi contoh bekerja keras tapi tak lupa memberi kasih yang cukup untuk anak-anaknya. Saya ingat ibu itu berkata, " Jika kasih sayang anak-anak tercukupi, mereka tidak akan mengemis-ngemis kasih sayang di luar dan minta pengakuan sana sini, karena mereka tumbuh menjadi pribadi yang penuh kasih."

Bayangkan, seorang ibu petugas kebersihan bisa mempunyai pemikiran yang menurut saya luar biasa. Beliau dan suami hanya lulusan SD tapi bisa punya pemikiran luar biasa dan menghasilkan anak-anak yang sarjana. Sungguh, saya angkat topi buat mereka.

Di lain sisi, salah satu teman saya yang usianya beda beberapa tahun di atas saya, hidup berkecukupan. Sejak kecil sudah membiasakan anak-anaknya hidup sangat nyaman. Dari bangun tidur hingga kembali tidur anak-anak tersebut dilayani kebutuhannya oleh babysitter masing-masing. Jika yang satu beli baju baru maka yang lain harus dibelikan juga, tidak perduli berapa harga baju tersebut. Baginya, pantang jika anak-anaknya menggunakan pakaian bekas pakai. Semua harus baru. Itu baru masalah pakaian, belum yang lain.

Saya sempat bertanya padanya apa tidak terlalu dimanja? Karena mengingat anak perempuannya yang berusia 10 tahun hingga kini tidak mengerti bagaimana mengikat tali sepatu atau sekedar membersihkan tempat tidurnya. Dia menjawab tidak apa-apa, kan masih kecil. Nanti juga bisa sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline