[caption id="attachment_285818" align="alignnone" width="300" caption="ilustrasi: dok. pribadi"][/caption]
Sebagai binatang yang terluka, kusandarkan tubuhku di dekat tubuhnya. Sempat kukoreksi bau parfumnya yang menyengat. Namun ia tak menggubrisnya. Sambil mencibirkan bibirnya yang memerah oleh lipstik, tangannya meraih meja kecil di samping ranjang. Ia membuka laci, mengambil sesuatu dengan sigap, lalu kembali duduk di sampingku tanpa menutup laci meja itu terlebih dulu.
"Ini, kamu pakai," ujarnya sambil menyodorkan sebungkus fiesta kepadaku.
Aku memperhatikan benda itu, membuka bungkusnya yang sudah pernah dibuka sebelumya, mengambilnya satu dan menciumnya. Aroma strawberry.
"Punya selera yang baru, ya? Kamu ternyata suka stroberi." kataku setengah berbisik.
"Apapun, bagiku rasanya sama. Paling-paling hasilnya juga akan sama. Agar lebih aman saja."
"Wah, mulai kapan bosmu peduli dengan yang seperti ini?"
"Seminggu yang lalu kami dikumpulkan. Ada pemeriksaan kesehatan dan pembagian kondom cuma-cuma. Setelah mendengar penjelasan dari mereka, kupikir bagus juga. Pengunjung dan kami sama-sama menjaga. Jadi, jika mereka tidak membawa pengaman, kamilah yang menyediakan. Siapa tahu, kan?"
" Apa selama ini tidak seperti itu?"
"Kamu tahu sendiri, selama ini aku selalu berjaga-jaga. Tidak tahu yang lainnya ..."
Tidak seperti biasanya, malam ini Martiana terus-terusan mengajakku bicara. Setiap kali selesai bepergian karena pekerjaanku, kamar inilah tempat yang kudatangi pertama kali. Sudah hampir sebulan aku tidak bertemu Martiana. Ia bercerita banyak hal tentang apa saja yang terjadi di seputar komplek remang-remang ini. Malam Rabu kemarin, katanya ada keributan di tempat ini. Seorang berambut cepak yang datang dalam keadaan mabuk dan mengaku sebagai aparat keaamanan, tidak mau membayar setelah selesai bermain.
"Alasannya aneh," kata Martiana. "Servisnya kurang memuaskan, katanya. Memangnya, minta diservis yang seperti apa lagi. Kalau mau puas, kan ada istri di rumah. Bagaimana menurutmu?" tatap Martiana kepadaku.
Aku hanya nyengir. Tak tahu harus menjawab apa. Anggur cap orang tua yang kutenggak tadi, seharusnya memang tidak untuk diskusi. Di kepalaku saat ini yang ada hanya Martiana. Kukira, itulah kebutuhan yang paling mendesak untuk saat-saat seperti ini.
"Sudah tidak tahan, ya?" tanya Martiana. "Aku sengaja mengajakmu mengobrol. Aku sudah lama tidak mengobrol, cerita-cerita. Kamu masih ingat, waktu pertama kali bertemu denganku?"
"Ya, aku ingat. Memangnya ada apa?"
Martiana bangkit dari ranjang, mengambil sebungkus rokok dan asbak dari dalam laci meja, lalu kembali duduk disampingku sambil menyandarkan tubuhnya di tembok dan meletakkan asbak di antara kami berdua. Sebatang LA light terselip di bibirnya.
"Kamu itu sembrono sekali, ya? Tidak punya uang nekad ke tempat seperti ini. Kalau ingat, kadang-kadang aku tertawa. Tapi sebenarnya aku tidak percaya kalau kamu tidak punya uang."
"Tapi aku meninggalkan arlojiku, kan?" aku terpancing juga menanggapinya. Aku melolos sebatang rokok milik Martiana. Ia menyalakan pemantik transparan berwarna merah muda, membakar rokokku baru kemudian rokoknnya.
"Merokok lagi, ya?"
"Sudah kubilang, kadang-kadang aku merokok."
Aku sebenarnya sudah cukup lama mengurangi kebiasaan merokok. Namun sekali waktu aku melakukannya, hanya agar orang yang merokok di dekatku tetap merasa nyaman dengan menganggapku tidak anti rokok.
"Bukan. Lebih tepatnya, arloji itu ketinggalan. Benar, kan?" ujar Martiana menyambung perihal arloji itu lagi.
Aku dibuatnya tertawa mengingat kejadian itu. Kebiasanku melepas arloji sebelum tidur terbawa-bawa hingga ke kamar Martiana. Aku masih ingat, tiga hari kemudian aku datang kembali ke kamarnya. Aku kira, arloji itu sudah hilang entah di mana, ternyata memang ketinggalan di kamarnya. Namun karena malam itu aku begitu oleng hingga sepertinya ada sekrup yang terlepas dari kepalaku, aku lupa lagi mengambil arloji itu. Sampai akhirnya, karena sebuah dorongan yang aku sendiri tidak tahu entah dari mana datangnya, aku meminta Martiana menyimpankan arloji itu untukku.
"Jadi, kamu masih menyimpanya?"
"Sampai saat ini, iya. Tapi kalau terpaksa, nanti aku akan menjualnya," jawabnya mencandaiku. "Kalau dipikir-pikir, aneh juga, ya. Kenapa kamu selalu lupa mengambil arloji itu. Lagi pula itu arloji untuk laki-laki. Siapa pula perempuan yang mau memakainya?"
Aku telah berbohong soal arloji itu kepada Martiana. Suatu kali kukatakan padanya bahwa arloji itu aku dapat dari seorang kawan yang kalah berjudi. Lantas aku membelinya dengan harga yang sangat murah. Jadi, aku juga tidak akan keberatan jika harus kehilangan arloji itu, begitu kuyakinkan padanya saat itu. Padahal, itu sebenarnya arloji hadiah dari mantan istriku pada ulang tahun pernikahan kami yang ketiga. Arloji kenangan, tentunya. Salah satu jenis kenangan --yang dalam kasusku -- akan lebih baik jika dilupakan. Namun tentu saja, aku tak akan menceritakan panjang lebar perihal arloji itu kepada siapapun di sini, bahkan kepada Martiana.
"Kamu punya saudara laki-laki? Adik, mungkin. Atau kakak?"
"Tidak. Aku lima bersaudara, semuanya perempuan. Ada apa bertanya seperti itu?"
"Tidak ada. Kalau punya saudara laki-laki, kamu berikan saja arloji itu."
"Yang benar saja. Bagaimana kalau kuberikan pada ayahku saja?"
"Siapapun, yang penting keluargamu."
"Ah, tidak. Aku hanya bercanda. Kapanpun kalau kamu mau mengambilnya."
Martiana mematikan rokoknya yang baru dihisap setengah di dalam asbak. Aku pun melakukan hal yang sama. Setelah menaruh kembali asbak di atas meja, ia melolos pakaiannya satu persatu dan merebahkan dirinya di sampingku.
"Sudah tidak tahan, ya?" bisiknya dengan suara yang lembut menempel di telingaku. Jika sudah begitu tak kuhiraukan lagi aroma parfum yang menyengat di tubuhnya. Lalu seperti yang sudah-sudah, kami pun melakukannya. Malam itu aku memasukinya dua kali. Sesudahnya, aku terkapar lagi seperti binatang yang terluka di sampingnya.
***
Aku terbangun sekitar pukul dua belas siang. Badanku lungrah, serasa tulang-tulang di seluruh persendianku lepas satu persatu. Pekerjaan sambilanku sebagai pemandu wisata sering membuatku berlama-lama berada di luar rumah. Aku hanya memandu mereka yang senang dengan petualangan. Aku menguasai jalur-jalur rumit masuk ke wilayah pedalaman, kawasan hutan, dan pegunungan. Aktivitas semacam itu aku manfaatkan dengan baik untuk mendukung pekerjaan utamaku sebagai kontributor di sebuah jurnal mingguan yang serius menggarap isu lingkungan dan budaya. Bulan ini aku baru saja mengantar sebuah keluarga keturunan Belanda yang ingin menapak tilas nenek moyangnya ke beberapa tempat di perkebunan karet, perkebunan kopi, dan perkebunan kakau yang berada di sekitar kawasan sebuah cagar alam. Semua itu, lelah yang tak terasa selama perjalanan, akan terasa kembali menjadi satu setelah sampai di rumah. Dan sejak aku bertemu Martiana beberapa tahun lalu, aku selalu membawa bau hutan dan pegunungan ke dalam kamarnya yang hangat. Pendek kata, akulah pelanggan paling setia di kamarnya. Bukan tanpa alasan aku melakukannya. Di samping ada sebuah lubang yang terus menganga dalam diriku, bagaimanapun aku telah melihat sesuatu yang berbeda dalam diri Martiana. Kadang-kadang aku membayangkan bahwa hubungan kami sebenarnya adalah hubungan sepasang kekasih yang telah bertahun-tahun dipisahkan, lalu pada suatu hari yang penuh kebetulan kami dipertemukan kembali sebagai pasangan paruh baya untuk melanjutkan hubungan terlarang itu. Agak klise, memang. Tapi begitulah, aku sering membayangkan hal seperti itu.
Sehabis menyeduh teh hangat, aku duduk di ruang tengah dan mulai menyalakan televisi. Selagi duduk seperti itu, aku teringat apa yang dikatakan Martiana sesaat sebelum aku keluar dari kamarnya dini hari itu. Katanya, tempat itu akan ditutup permanen menyusul tempat-tempat lain yang sudah ditutup sebelumnya. Aku tidak terlalu menanggapi apa yang dikatakannya. Sudah berkali-kali aku mendengar kabar seperti itu. Buktinya, lokalisasi itu masih saja buka dari waktu ke waktu. Aku hanya sambil lalu saja mengatakan padanya agar tidak terlalu kawatir.
Aku terus saja memencet remote control mencari-cari acara yang pas untuk kutonton; sinetron, musik yang itu-itu juga, kuis-kuis konyol, iklan, hal-hal lainnya yang jarang aku ikuti dalam acara televisi. Bosan dengan beberapa tayangan di televisi nasional aku pindahkan canel ke televisi lokal. Setelah iklan sebuah pengobatan alternatif yang digarap asal-asalan, muncul sebuah jeda: breaking news.
Seorang reporter melaporkan dari tempat kejadian: Ratusan pekerja seks komersil mendatangi gedung DPRD. Mereka datang untuk menolak pembubaran lokalisasi di daerah ini. Salah satu PSK, Santi, bahkan menyatakan program alih profesi tidak kena sasaran dan terkesan asal jalan. Kata Santi, modal usaha yang diberikan pemerintah tidak akan mampu menyelesaikan persoalan. Bahkan, sejak tahun lalu pemerintah berjanji akan memberi bantuan, namun sampai pertengahan tahun ini, bantuan tersebut tak pernah cair.
Lalu kamera menyorot sosok seorang perempuan, "Saya bertekad akan tetap ada di lokalisasi," kata Santi.
Aku seperti melihat beberapa sosok yang kukenal dalam televisi itu. Aku merasa menyesal tidak menanggapi serius apa yang dikatakan Martiana dini hari itu. Ternyata, apa yang dikawatirkannya benar adanya. Lalu dengan perasaan tidak menentu aku mencoba menghubungi nomor hape-nya. Aku pilih nama Tian Martiana dan mulai menekannya. Sekejap kemudian tak ada jawaban, kecuali pemberitahuan bahwa nomor yang saya tuju sedang tidak aktif. Setelah menunggu beberapa saat, aku mencoba menghubunginya lagi, namun hasilnya tetap sama. Selanjutnya, aku tak mau menunggu lagi. Segera kuhidupkan sepeda motorku menuju lokasi. ()
Mataram, 15 Oktober 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H