Selamat malam, teras kamar.
Aku kembali mendiami teras kamar yang selalu menjadi tempat akhir pembuangan hasil perenungan ku. Mungkin bukan hanya sekedar tempat akhir, tapi juga tempat memproses renungan hati yang terkadang irasional untuk dikelola menjadi hal-hal yang setidaknya lebih rasional. Ini adalah malam kesekian dalam sebulan terakhir. Tepatnya, malam kesekian tentang dia yang kucurahkan di tempat ini, di teras ini, di sudut ini.
Kalau harus menganut aliran bahwa cinta tak datang dengan tiba-tiba, maka aku dengan terpaksa menamakan ini adalah sebuah rasa terpesona, meski aku sebenarnya lebih suka menamakan ini cinta. Karena aku tahu ini memang cinta. Tapi biarlah, biarlah aliran tersebut membuat ku sedikit tidak merasa bersalah tentang rasa yang ku ukirkan dalam benda bernama hati.
Ini adalah malam kesekian. Malam kesekian untukku meminta hati agar terbangun dari sapaan hangat kata cinta. Karena sungguh, aku takut akan rasa bersalah yang aku tahu pasti akan tumbuh bersamaan dengan rasa. Aku jatuh cinta. Atau entah apalah itu namanya. Tak pernah ada yang salah dengan cinta. Yang salah adalah tempat cinta itu jatuh, karena jatuh pada orang yang terlanjur memiliki label "sahabat".
Dia hadir, jauh sebelum rasa ini hadir. Dia hadir dalam bentuk yang jauh berbeda. Dia adalah orang yang kuyakini tak akan mampu menjadi pengukir bagi hati. Itu, dulu. Saat ini, rasa menyajikan dia dalam bentuk lain. Bentuk keabstrakan meski bisa ku lihat dengan jelas. Saat ini, dia bukan hanya pemahat handal dalam hati. Dia bahkan pengukir lihai yang mampu dengan sempurna menyempurnakan bentuk dari bagian-bagian kecil hati.
Tapi, lagi-lagi aku harus ingat. Bahwa di teras ini adalah tempat merasionalkan hal-hal yang irasional. Keyakinan nya adalah cinta tak boleh menggantung dalam tali persahabatan. Keyakinan nya adalah, cinta dan sahabat adalah hal yang harus tumbuh dalam alur masing-masing. Cinta dan sahabat adalah jalan dua arah yang terlarang untuk disatukan.