Lihat ke Halaman Asli

Kate Siape Uang Tidak Bisa Beli Kebahagiaan?

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun saya seorang wiraswastawan saya sering mumet mendengar para personal financial planner dalam menjelaskan rancangan keuangan yang cocok dan baik. “harus ada dana darurat, harus ada rekening banyak, harus tanam modal di sana-sini, asuransi pendidikan, asuransi kesehatan, asuransi mobil, asuransi hewan peliharaan, asuransi istri, asuransi (masukan kata benda disini), dsb dsb dsb dsb. Dari kecil bapak saya, yang kebetulan seorang mantan akademisi dan praktisi keuangan, sudah menjejali otak saya dengan seribu satu cara untuk mengatur uang. Tapi mereka semua tidak pernah mengajari saya satu hal yang amat penting tentang mengatur uang. Bagaimana caranya mengubah uang jadi kebahagiaan.

Bagi saya pribadi tidak banyak caranya, karena kebetulan uangnya juga tidak banyak jadi tidak bisa trial and error. Salah satu caranya adalah: pastikan jika anda menggunakan uang untuk sesuatu – sesuai fungsinya tentu, yaitu alat tukar bukan untuk lap ingus atau main trik sulap ke cewe – anda menggunakannya demi pengalaman yang akan anda dapatkan. Dalam arti lain usakan untuk membeli sesuatu yang bisa memberi anda pengalaman dan setiap saat anda bisa jalan-jalan di dalam lautan ingatan anda untuk merasakan pengalaman tersebut. Malah dapat memberikan arti baru.

Terdengar abstrak? Oke. Pada bulan Mei yang lalu saya bersama orang terkasih pergi berlibur ke Bali sembari mengikuti konferensi TEDx Ubud. Tidak lama sebelum itu saya membeli GPU (graphic processing unit)/kartu grafis/VGA card untuk computer saya. Jumlah uang yang harus saya keluarkan kurang lebih sama, hanya terpaut beberapa ratus ribu saja. Persis hari ini nilai dari VGA card tersebut tidak lebih dari separuh nilai ketika saya membelinya. Dan nilai dari pengalaman yang saya dapat ketika saya mengikuti konferensi TEDx, mengendarai motor hujan-hujanan jam 2 malam antara Ubud dan Nusa Dua bersama orang terkasih: priceless. Kalo ada orang yang menawarkan jumlah 20x lipat dari total uang yang harus saya keluarkan ketika itu untuk membeli ingatan pengalaman ini tetap tidak akan saya lepas (kecuali jika ada yang berani menawarkan 21x lipat. Adakah yang berani? Maklum lagi bokek).

Banyak dari kita yang belum mengerti konsep ini. Di suatu acara kuis, ketika ditawarkan dua pilihan antara tiket berlibur ke Lombok selama empat hari untuk dua orang atau Televisi LCD Super Bright - Mega Sound - Rockin Bass - Excellent View 32’inches, kebanyakan partisipan memilih pilihan yang akhir. Tanpa mereka sadari yang mereka pilih itu adalah LCD yang dapat menciut. Dalam 2-3 tahun kedepan LCD tersebut akan semakin terlihat kecil, semakin gelap, semakin mendem suaranya, semakin pecah bass-nya, semakin kacau layarnya. Tidak seperti LCD tetangga yang tiap hari makin kencang suaranya dan makin besar pula kelihatannya. Sedangkan di rumah yang makin kencang dan besar bukan LCD tapi istri.

Sebelum saya dijitak bini khayalan, kita balik lagi ke topic. Bukannya VGA Card diatas telah memberikan saya suatu pengalaman? Pengalaman akan tampilan grafis gim yang lebih syur dan wah? Ya tentu dong kasih pengalaman. Tapi apa pengalaman tersebut akan jadi pengalaman yang akan saya ingat dengan baik? Beberapa tahun lampau saya adalah seorang reviewer lepas dan gratisan untuk sebuah forum teknologi di Indonesia. Dan satu hal yang saya sadari tentang kartu grafis, atau peripheral computer lainnya adalah pada dasarnya mereka semua itu sama. Sedangkan pengalaman yang saya dapatkan dalam setiap liburan saya bersama orang terkasih adalah unik dan berbeda.

Jadi betul kita juga mendapatkan pengalaman berharga dari membeli suatu barang apalagi jika barang tersebut bernilai sentimental atau historis (baik sebelum atau sesudah menjadi hak milik). Betul juga kalau membeli barang karena fungsinya akan banyak membantu anda, keluarga dan/atau sesame. Lagi-lagi betul juga kalau Sutan Batoegana itu merupakan tokoh fiksi ciptaan JRR. Tolkien (lah). Namun pada akhirnya ada sebuah garis imaginer antara sesuatu yang eksperentil dan sesuatu yang materiil (entah kenapa saya selalu merasa berdosa setiap menggunakan kata sesuatu, seperti ada seseorang yang sudah menganiaya kata ini dan saya yang mengambil keuntungan). Garis inilah yang harus ditentukan oleh masing-masing individu. Kecuali kalo anda termasuk kalangan pengidap penyakit bersin duit.

Akhir bulan ini ketika anda gajian, togel tembus, korupsi sukses, menang tender atau dikasih uang jajan sama emak coba deh anda ajak orang terkasih pergi pelesir, melancong atau sekedar makan di tempat yang baru. Untuk yang kere seperti saya bisa coba ajak orang terkasih untuk datangi gedung pertemuan di kota anda dan ramaikan pernikahan si (nama cowo) dan (nama cewe). Saya jamin akan lebih bernilai ketimbang LCD 32’inches yang malah membuat Cut Tari jadi lebar dan tidak enak dipandang (tapi setidaknya ga mereng-mereng). Hal diatas atau mendengarkan kotbah financial planner. Bukan pilihan yang sulit kan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline