Lihat ke Halaman Asli

Jelmaan Sosok Ayah

Diperbarui: 29 Juni 2024   10:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jelmaan Sosok Ayah

Udara berganti tiap tengah malam. Bukan lagi sejuk, melainkan dingin menusuk.


"Tenggorokanku sakit, Ma."


Mama Lena mengambil teko di sebelahnya, menuangkan air rempah hangat sepertiga cangkir, lalu mengulurkan pada bocah laki-laki berumur sepuluh tahun yang mulai kesulitan bernapas.


Bocah itu menenggak sampai tak bersisa. Dirapatkan selimut wol. Lena lalu mendekapnya erat.


"Lebih baik?"


"Sedikit."


Lena menghela napas karena tak bisa berbuat banyak untuk menyembuhkan putranya. Tiap tengah malam, ketika udara berganti, kesakitan itu akan kambuh. Mulut bagian belakang sampai langit-langit tengah bagai tertusuk duri. Hidung tersumbat cairan. Lalu sekujur tubuh mulai gatal.


"Kapan matahari akan muncul, Ma?"

Pertanyaan polos yang sulit dijawab. Sejak Gunung Gong memuntahkan laharnya seminggu lalu, langit tiba-tiba saja berubah gelap. Abu beterbangan menutup jalan cahaya. Tentu saja semua yang semula hangat berubah menjadi dingin. Naasnya, tidak ada yang tahu kapan situasi itu akan berubah.


"Kita berdoa saja, ya."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline