Semburat jingga di ufuk barat terlukis indah diiringi senandung muadzin yang memanggil jiwa-jiwa untuk bersimpuh pada Sang Pencipta. Sayup-sayup senandung muadzin itu hinggap pula di telinga Nek Munah yang masih berjalan menggendong kayu. Beberapa meter lagi ia sampai di rumah petak dari anyaman bambu yang dihuninya seorang diri.
Langkah kakinya dipercepat, tak ingin ketinggalan jamaah sholat maghrib di masjid yang sedang melantunkan adzan itu. Sesampainya di rumah, seikat kayu diturunkan dari gendongan, kemudian diletakkan di teras belakang.
"Alhamdulillah," ucapnya bersyukur pada Sang Pemberi Kehidupan.
Letih, itulah yang dirasakan tubuh Nek Munah, namun jiwanya senantiasa semringah melakoni tugas hidupnya yang tak mudah bagi orang lain. Di usianya yang senja ini, Nek Munah masih gigih mencari ranting-ranting kayu di hutan yang jaraknya lima kilo meter dari rumahnya.
Setiap habis melaksanakan sholat subuh di masjid, Nek Munah segera bersiap ke hutan. Tidak ada kendaraan. Ia berjalan kaki beralas sandal usang warna hijau tua. Kadang, sandal itu tak bisa melindungi kakinya dari tusukan batu-batu besar yang sengaja ditata di sepanjang jalan supaya tidak becek kala hujan mendera.
Nek Munah baru pulang ketika matahari masuk ke peraduannya seperti sekarang. Segera ia bersihkan diri, kemudian berangkat lagi ke masjid yang jaraknya beberapa meter saja dari rumahnya.
Selesai melaksanakan sholat maghrib berjamaah, Nek Munah disapa oleh Wawan, lelaki berusia tiga puluhan yang bertugas mengumandangkan adzan.
"Mau saya boncengkan pulang, Nek?" Tanya Wawan menawarkan bantuan.
"Alhamdulillah. Mau Nak, daripada jalan kaki lagi, pegal rasanya," terima Nek Munah sambil duduk di jok belakang motor Wawan.
Wawan lalu menanyakan hal yang selama ini mengusik hatinya.