Lihat ke Halaman Asli

Novia Damayanti

Mahasiswi UPN Veteran Yogyakarta

Penyelesaian Sengketa Wilayah Laut di Selat Malaka antara Indonesia dan Malaysia

Diperbarui: 21 Mei 2022   21:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Indonesia telah mencatat kejayaan di wilayah perairan nusantara. Hal tersebut dapat dilihat dari wilayah kerajaan maritime yang dulu berkembang di Indonesia. Indonesia memiliki sekitar 17.500 pulau, bergaris pantai sepanjang 81.000 km.[1] Letak Indonesia berbatasan dengan wilayah laut dan wilayah darat. Batas wilayah perairan meliputi wilayah laut teritorial, zona tambahan dan juga zona ekonomi eksklusif (ZEE). Salah satu negara tetangga kita yang berbatsan langsung dengan Indonesia adalah Malaysia. Wilayahnya berdampingan langsung dengan pulau Kalimantan. Untuk wilayah lautnya dipisahkan oleh selat malaka. Tanggal 17 Oktober 1969 Indonesia dan Malaysia melakukan perjanjian tentang penetapan batas landas kontinen antar kedua negara yang ditandatangani oleh delegasi dari NKRI maupun dari pemerintah Malaysia di Kuala Lumpur. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1969 dan kemudian dirdiratifikasi oleh Indonesia dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 1969.

Pada tahun 1982 tepatnya setelah tiga belas tahun setelah dilakukannya perjanjian, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melaksanakan konverensi hukum laut Janewa, yang diadakan karena terjadinya kemajuan yang pesat dibidang teknologi kelautan, dll. Disisi lain, negara-negara yang bergabung saat itu ingin memperkenalkan kepada dunia pranata hukum laut yang baru, seperti zona ekonomi eksklusif, zona ekonomi, zona ekonomi perikanan, dan berbagai klaim lainnya yang menyebabkan negara-negara di dunia berlomba-lomba dalam menguasai lautan serta mengekploitasi sumber daya alamnya.

Pada tahun 2011, terjadi insiden di selat Malaka yang mana insiden tersebut melibatkan negara Indonesia dan Malaysia. Insiden tersebut diawali oleh dua kapal nelayan berbendera Malaysia menangkap ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE). Kemudian dapat tertangkap oleh kapal pengawas Hiu 001. Kedua kapal tersebut menggunakan alat penangkap ikan terlarang (Trawl) dan setelah diamankan akan itu digiring menuju ke Pelabuhan. Akan tetapi, selama proses penggiringan, terdapat 3 helikopter Malaysia yang meminta agar kapal pengawas Hiu 001 milik Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan Perikanan itu untuk melepaskan 2 kapal tersebut. Karena menurutnya, 2 kapal tersebut masih mengambil ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Malaysia. Hal inilah yang menjadi pencetus permasalahan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Malaysia menyebutkan bahwa mereka mengambil ikan di wilayah ZEE mereka. Sedangkan wilayah ZEE tersebut merupakan wilayah Indonesia. Atas klaim tersebut, menyebabkan adanya sengketa laut antara Indonesia dan Malaysia di selat Malaka.

Klaim dua negara atas permasalahan 2 kapal berbendera Malaysia di selat Malaka tidak sembarangan. Malaysia melakukan klaim atas dasar perjanjian dengan Indonesia tahun 1969 yang menetapkan landas kontinen kedua negara adalah garis ZEE. Sedangkan Indonesia atas dasar konvensi hukum laut PBB 1982 dengan menggunakan garis tengah (median line) antara Indonesia (Sumatra) dan semenanjung Malaysia sebagai batas garis ZEE. Sengketa kelautan ini berupa overlapping claim area (Kawasan tumpang tindih). Tumpang tindih disini berfokus pada airnya saja tidak termasuk dasar laut. Pada kasus diatas yang menjadi persoalan adalah ikannya. Bukan eksplorasi sumber daya alam minyak atau gas bumi yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, Indonesia melakukan penangkapan 2 kapal milik Malaysia karena telah melakukan pelanggaran.

Selisih batas laut tumpang tindih yang terjadi pada Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan Malaysia dapat diselesaikan secara damai karena kedua negara merupakan negara tetangga yang seharusnya memiliki hubungan kerjasama yang baik. Sengketa tersebut dapat diselesaikan menggunakan UNCLOS 1982 (United Nation Convention on the Law of Sea). Permasalahan ZEE tidak bisa disamakan dengan batas landas kontinen karena masing-masing memiliki perbedaan dan cara sistem pengaturannya. Pasal 15 UNCLOS 1982 yang mengatur tentang penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara pantainya berhadapan atau berdampingan yang ada pada ayat (1) berbunyi, "Dalam hal pantai 2 negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun diantara berhak, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur." Bunyi ayat (2) "Tetapi ketentuan diatas tidak berlaku, apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antar 2 negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan diatas." Inti dari kedua pasal tersebut adalah lebar laut teritorial masing-masing negara berdasar pada garis tengah, terkecuali terdapat alasan historis atau keadaan khusus lainnya.

Solusi dari penyelesaian kasus tersebut antara lain, menyelesaikan penerapan batas maritim di selat Malaka. Peratifikasian yang sudah dilakukan Indonesia dan Malaysia terhadap UNCLOS harusnya dapat menjadi acuan bagi kedua negara untuk mendasarkan hukum laut atau ZEE nya pada UNLOS. Ketiga, usulan Malaysia untuk menggunakan batas landas kontinen 1969 tidak dapat diterima karena batas landas kontinen dan ZEE sangatlah berbeda sedangkan Indonesia menggunakan batas garis tengah yang mana itu merupakan ZEE.

Ada beberapa penyelesaian untuk sengketa yang terjadi antara Indonesia dengan Malaysia tersebut. 1. Batas kemaritiman bisa diselesaikan dengan jalan negosiasi, mediasi, atau arbitrasi dan juga pengajuan ke lembaga peradilan Internasional seperti Mahkamah Internasional dan ITLOS. 2. Setiap negara yang melakukan negosiasi harus sama-sama memahami bahwa tidak ada satu pihakpun akan mendapatkan semua yang diinginkan karena semua pihak akan mendapatkan bagian. Berbeda dengan jalur pengadilan Internasional yang mana dimungkinkan satu pihak mendapatkan hasil yang kurang memuaskan dan pihak lain mendapatkan semua yang diinginkan.

Hak atas ZEE selat malaka sama-sama dimiliki oleh Indonesia dan Malaysia sebagaimana dijelaskan dalam pasal 56 UNCLOS 1982 baik Indonesia ataupun Malaysia memiliki hak yang sama dalam melakukan keperluan eksplorasi, ekploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang ada di selat Malaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline