Pernah berpikir bagaimana jika suatu hari nanti tinggal beberapa pohon yang tumbuh di bumi ini? Bumi akan panas, gersang, kering. Air akan menjadi barang berharga yang diperebutkan. Mereka yang kaya bisa membeli, mereka yang miskin hanya tinggal menunggu kematian karena dehidrasi. Lalu, bagaimana pula jika suatu hari nanti pohon benar-benar tidak ada di bumi ini?
Bagi kita, mungkin tidak akan merasakannya. Tetapi anak cucu kita kelak akan tahu bahwa mereka mempunyai orang tua yang tidak pandai merawat bumi. Mereka akan mengecap kita sebagai generasi yang tidak tahu diri, generasi yang menyisakan warisan kehidupan yang pilu dimana bumi sudah semakin kering dan kehidupan berada dimasa yang sangat buruk.
Acapkali kita merasa tidak punya andil dalam perusakan hutan yang terjadi, kita berpikir bahwa yang harus bertanggung jawab terhadap perusakan hutan yang terjadi adalah perusahaan-perusahaan besar yang melakukan penebangan pohon di hutan. Kadang kita juga merasa pemerintahlah yang dianggap paling bersalah karena tidak dapat memberikan efek jera bagi pelaku penebangan pohon. Tetapi sebenarnya, kita pun ikut serta dalam memuluskan rusaknya hutan dibumi ini.
Rasa acuh yang berkepanjangan, merasa diri tidak perlu memperhatikan lingkungan karena masih banyak aktivis lingkungan hidup yang mati-matian menjaga hutan. Merasa diri tidak perlu turun tangan dalam rangka reboisasi hutan karena sudah banyak relawan yang terjun untuk melakukannya. Pun yang paling memilukan adalah merasa diri tidak harus peduli karena kita tidak melakukan penebangan atau perusakan hutan dibumi. Padahal dari perasaan tidak peduli tersebut berimbas pada penanganan terhadap perusakan yang kini telah terjadi. Jika hanya sebagian kecil saja yang sadar tentang kerusakan yang terjadi, bagaimana hutan yang tersisa ini bakal terjaga?.
Cikal bakal dari rasa tidak peduli kita yakni kehancuran hutan itu sendiri. Kita barangkali tinggal menunggu saja, Indonesia akan menjadi negara yang gersang dan kering tanpa hutan. Kalimantan yang dulu asri dengan hutan rimba yang disebut sebagai zamrud khatulistiwa, menjadi primadona yang menawan dan menarik perhatian dunia kini hanya menjadi seonggok pulau yang menunggu untuk dihabiskan hutannya oleh orang-orang yang tidak peduli terhadap keberlangsungan kehidupan di bumi. Bagaimana bisa ada terjadi banjir di Kalimantan, Sumatera, Papua dan Sulawesi padahal keempat pulau tersebut mempunyai kawasan hutan yang sangat luas.
Jawaban yang miris karena kawasan hutan yang luas itu kini hanya menjadi cerita saja . Satu fakta yang dapat dirunut bahwa sebenarnya keempat pulau tersebut berada pada masa sulit, sulit karena hutan-hutan yang ada kini semakin sedikit luasannya. Berbagai macam flora dan fauna hilang karena sudah tidak punya rumah, sisanya digantikan oleh perkebunan sawit yang maha luas. Lalu bagaimana dengan hutan di pulau Jawa? Apakah masih ada warisan yang tersisa di pulau yang menjadi pusat perekonomian Indonesia sekaligus pulau terpadat ini.
Pulau Jawa merupakan pulau paling padat penduduknya di Indonesia, selain karena menjadi pusat perekonomian Indonesia, pulau Jawa mempunyai magnet yang efektif membuat banyak orang dari luar pulau banyak berdomisili di pulau Jawa. Semakin banyaknya penduduk yang mendiami pulau Jawa, menyebabkan banyak dibukanya lahan-lahan yang semula hutan menjadi kawasan tempat tinggal penduduk.
Berkembangnya industri pun menyebabkan lahan hijau di pulau Jawa semakin sedikit. Berkurangnya luas hutan yang cukup signifikan yang terjadi menyebabkan spesies langka yang ada di pulau Jawa mengalami penurunan populasi. Hilangnya habitat menyebabkan banyak hewan-hewan mati dikarenakan sudah tidak ada lagi makanan dihutan. Jikalau hewan-hewan tersebut kekurangan makanan maka ia akan memasuki perkebunan warga, setelah itu mereka hanya tinggal menunggu kematian karena dianggap sebagai hama bagi perkebunan warga.
Berdasarkan Badan Planologi Departemen Kehutanan, lahan kritis di Jawa saat ini diperkirakan sudah mencapai 2.481.208 hektar dan penutupan lahan oleh pohon tinggal 4 %. Pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam (hutan primer) di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta hektar. Sedangkan pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektar atau sekitar 7 persen dari luas total Pulau Jawa.
Lebih jauh, ternyata pengaruh hilangnya kawasan hutan mempunyai dampak yang signifikan terhadap kondisi udara di Pulau Jawa. Urgensi hutan yang sepertinya belum dipahami oleh kebanyakan masyarakat, membuat masyarakat yang khususnya tinggal di pulau Jawa merasa tidak mempunyai bagian dalam proses perusakan hutan itu sendiri. Padahal jika ditelaah lebih jauh, ketika bicara hutan kita akan berbicara tentang keberlangsungan bumi yang kita tempati ini. Dengan kata lain, ketika hutan hilang maka eksistensi kehidupan manusia di bumi akan terganggu bahkan ikut hilang.
Urgensi keberadaan hutan bagi manusia, yaitu sebagai paru-paru dunia. Pernyataan ini belum juga menggugah kesadaran masyarakat betapa pentingnya keberadaan hutan. Betapa wajibnya kita menjaga hutan. Keberadaan pohon-pohon di hutan dapat berfungsi sebagai penyerap karbon dioksida yang merupakan gas berbahaya bagi manusia jika jumlahnya di atas batas normal. Dan yang paling penting, bahwa keberadaan pohon adalah dapat memproduksi oksigen yang merupakan gas paling penting bagi manusia.