Kematian yang dirayakan
"Bagaimana?" Jani mencecar Tuar saat mereka bersua di warung.
"Apa yang bagaimana?"
"Mawe tentu saja, dia berkata apa padamu soal kematian Siya?"
"Tunggu Ridan, baru aku katakan semuanya."
"Sesaat lagi dia sampai, sudah kukirim pesan lewat gawai. Ingin tahu aku, siapa yang ada di sana. Atau hanya kau dan Etona?"
"Ada yang lain. Azorina dan suaminya, Catano. Forason dan istrinya Laiti. Lainnya aku tak ingat, tapi memang hanya segelintir yang datang."
Jani teringat Azorina yang jelita, berbusana kerap menarik mata. Bagai model nan modis yang kerap jadi perhatian lawan jenis. Catano pun tak buruk tapi bukan pasangan yang serasi, mengingat tubuhnya sedikit bungkuk dan agak kurang berisi. Jani pun ingat insiden yang dibuat Siya; bersuara keras mencela baju Azorina, yang dikatakannya memancing lelaki buaya meskipun masih dalam batasan sopan berbusana. Terdengar jelas oleh tetangga, yang jengah dan tak menduga, Siya tak pernah menahan kata, melontarkan apa yang terpikir tanpa peduli pihak lainnya.
Catano pun pergi bertandang. Bertemu Siya di depan rumah si lelaki lancang. Adu mulut dengan suara lantang dan sikap saling menantang. Membuat para tetangga ikut melihat tapi enggan ikut terlibat, tahu Siya bisa berlidah tajam kalau membalas selalu mengeluarkan kata-kata yang kejam. Membuat orang lain sakit hati dan mendendam, hingga sulit membuat amarah padam.
Tak menyangka kedua suami istri yang rupawan dan jelita itu sudi melayat, dilihat dari masalah yang sudah Siya buat. Apa yang sudah Mawe lakukan atas ulah suaminya sampai pasangan itu mau datang, membuat Jani hanya bisa heran.