Awalnya aku mengalami perayaan Idulfitri versi Lebaran, begitu mengesankan. Seperti melihat permukaan lautan yang biru, bergelombang dan di atasnya mengapung perahu paling mewah. Walau akhirnya kusadari ternyata itu cuma seperti perahu kertas. Lho, kok?.
Kesadaran dari Idulfitri versi Lebaran, menuju Idulfitri versi Al-Quran yang justru sungguh berkesan.
Seperti analogi di atas, kurasakan perayaan Idulfitri versi lebaran hanya terlihat bersuka cita tapi faktanya kekalutan dimana-mana. Mengapa bisa?. Semuanya disebabkan kesalahpahaman dari pengertian kata "Id". Karena dalam bahasa dan budaya Arab diartikan "pesta", selain berarti "kembali".
Dalam konteks pesta itulah, kata "alfithru atau fitri" dianggap sama dengan "al-futhr" yang artinya , dalam budaya Arab, sama dengan "sarapan" alias makan pertama di pagi hari.
Karena itu, tidak heran kalau dulu aku mengartikan Idulfitri sebagai Hari Raya Berbuka alias kembali makan, usai sebulan puasa Ramadan.
Konyolnya diriku dahulu, menyelenggarakan acara pesta dengan bersuka-ria, sambil bakar-bakar petasan karena senang telah dibebaskan untuk kembali makan. He he, autokritik.
Maka pada Hari Raya Idulfitri seperti itu makanan dan minuman melimpah ruah, sampai banyak yang terbuang.
Bahkan silaturrahmi pun dilakukan dengan cara saling tukar dan kirim-kiriman makanan. Kemudian, masuknya budaya Barat, kirim-kiriman makanan yang dulu hanya dilakukan dengan rantang dan keranjang sederhana, diubah ke dalam bentuk parcel.
Meski hal itu kadang hanya berlaku di kalangan menengah ke atas, dan tujuannya kadang melenceng menjadi semacam cara untuk "menjilat" atau "menyuap" dan sebagainya."
Itulah kenapa KPK dulu menyoroti pengiriman parsel dari pengusaha ke pejabat yang konon harga parcel yang dikirim mencapai belasan juta rupiah.
Tidak mengherankan akibat dari pemahaman Idulfitri versi lebaran yang hura-hura itu, kurasakan perekonomian menjadi inflasi Karena "deficit spending" alias kalap belanja.