Lihat ke Halaman Asli

Vethria Rahmi

Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau

Saling Bermaaf-maafan Lebaran dan Saling Memaafkan Berdasarkan Al-Quran

Diperbarui: 22 Mei 2020   01:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Screenshot YouTube: De Nico Creator

 

Frasa "bermaaf-maafan" menurut KBBI berarti ampun-mengampuni; saling memberi ampun. Namun menurutku, frasa itu digunakan dalam tradisi yang adanya hanya di Indonesia. Termasuk pernah berlaku di keluarga kami. Dahulu, frasa itu berlaku di keluarga kami hanya bersifat simbolik saat lebaran, kalau tak ingin disebut sebagai tradisi kepura-puraan. Ya jujur saja, ini sebuah pengakuan, bahwa saling bermaaf-maafan saat lebaran bukan maaf sungguhan.

Frasa "bermaaf-maafan" saat lebaran, kurasakan tidak terkait dengan substansi saling memaafkan yang sebelumnya bersinggungan. Faktanya, antar keluarga kami dan antar tetangga kami yang saling bermaaf-maafan sebenarnya saling tidak mengerti apa kesalahan yang harus diampuni. Baik yang memberi maaf maupun yang meminta maaf sama-sama gak tahu apa salahnya, apalagi tidak saling memberi pengakuan salah. Tapi anehnya saling menumpahkan air mata. Hal ini pernah membuatku gelisah, bukan membuatku terharu.

Sampai suatu hari, kami menyadari bahwa tradisi ini sebagai aktivitas yang menjurus saling membohongi diri kami sendiri. Sebab usai kami saling bermaaf-maafan, tidak ada beban untuk mengulagi kebiasaan keliru yang tak diketahui itu. Padahal setiap orang tak luput dari kesalahan pada masa lalu ke hari-hari berikutnya. Tapi karena tak ada perjanjian untuk tak mengulangi kembali kesalahan yang tak diketahui tersebut, maka terus saja berulang. 

Setelah kami sadari tradisi saling bermaaf-maafan itu hanya sekadar euforia. Tidak menjadi solusi atas ketidaktahuan dasar bermaaf-maafan. Tidak menjadi solusi bagi yang terlilit hutang dalam konteks menegakkan kebenaran dan keadilan. Tidak menjadi solusi atas kemiskinan korban eksploitasi. Tidak menjadi solusi atas permusuhan abadi. Bahkan tidak menjadi solusi berhentinya segala tindakan perusak alam. 

Tapi tetap saja para pemudik nekat melanggar larangan mudik untuk saling bermaaf-maafan dan saling bersalam-salaman. Padahal bermaaf-maafan pola begitu tidak akan memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Yang bermaaf-maafan tidak menjamin bebas dari dampak Covid-19. 

Malahan diperkirakan ahli, pekan depan usai mudik, masa kritis penyebaran Covid-19 akan terjadi. Begitu juga lonjakan jumlah yang terpapar Covid-19 diprediksi meningkat tajam, karena mudik lebaran 2020 ini kerumunan dan kontak lintas penduduk mengalami peningkatan. 

Lebaran Bermaaf-mafan tidak Identik dengan Idul Fitri pada masa Kenabian

Apalagi dalam sejarah nabi, tidak mengenal tradisi saling bermaaf-maafan seperti sungkeman yang ada di Indonesia. Tapi ritual Idul Fitri pada zaman nabi diselenggarakan sebagai momentum kembali hidup menurut Islam (regulasi Zakat yang sesuai fitrah manusia). Kembali pesta kepedulian antar si punya dan yang tak punya. Artinya Islam dan tradisi (tradisi Arab dan  Indonesia) adalah dua hal yang berbeda. Namun Islam dan tradisi memang bisa berdampingan tanpa harus saling bersinggungan. Caranya bagaimana?.

Dalam Islam, tidak ada Rasulullah mencontohkan saling bermaaf-maafan setahun sekali. Tapi tidak memaksa orang berbudaya sesuai kebiasaan Rasulullah. Rasulullah membiarkan orang hidup dengan keyakinannya, selama tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline