Lihat ke Halaman Asli

Vethria Rahmi

Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau

Laki Bersarung Ramadan, Berpedang Al Quran

Diperbarui: 14 Mei 2020   01:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Screenshot: YouTube Sharianews com

Suatu malam,17 Ramadan tahun 1441/2020, tepatnya pukul 00:00 WIB, kudibangunkan oleh suasa derasnya hujan diiringi angin ribut. Sesekali suara guntur terdengar begitu menggelegar, membuatku menutup  gendang pendengar. Tak lama kemudian, kilat berkelebat sabung-menyabung. 

Setelah berlangsung 15 menit. Aku berjalan ke ruang tamu.   Kuintip dari balik kaca jendela, sejumlah sarung yang baru kubeli tadi siang, kucuci lalu kujemur di samping rumahku. Malam itu berputar-putar di atas jemuran lalu menjauh beterbangan dibawa angin sejauh sekitar 50 m. "Astaghfirullah!", Belum hilang rasa mencekam itu dibenakku, listrik di rumahku tiba-tiba putus, lampu pun padam. Sontak saja aku terpekik. 

"Mas, mati lampu ya?", teriakku. Suamiku bergegas mengambil ponselnya di atas meja dan menyalakan aplikasi senter di atas lemari buku. tanpa sepatah kata. Lalu aku celingukan. rumah rumah tetangga dikomplekku gelap gulita. Tidak ada seorang pun yang keluar.

Hingga muncul seseorang misterius berjas hujan hitam, bersarung hitam dan berpayung hitam berjalan membelakangiku, lalu memungut sarung-sarung kami yang berserakan itu dengan langkah gontai. Kututup mataku erat-erat. Pikiranku liar entah kemana. Detak jantungku berdegup kencang. "Allahu Akbar", bisikku lirih sebanyak puluhan kali.

"Bunda, ayo kita ke kamar!", sekonyong-konyong suamiku menyeru. Begitu kuberbalik ke belakang, betapa kagetnya aku. Rupanya penampilan sosok misterius tadi adalah suamiku. Aku terperangah seakan tak percaya. Sejak kapan kami punya jas hujan, payung, dan sarung berwarna hitam?.

Saat aku duduk di tempat tidurku, aku masih tak percaya apa yang sedang terjadi. Imajinasiku langsung mengembara ke masa lalu. Anehnya, semua yang berkecamuk dalam benakku adalah berbagai jenis sarung. Mungkin karena ada angin ribut yang menyerakkan sarung kami tadi. Mulai soal sarung tinju/sarung pedang suamiku, sarung tanganku, sarung bantal kami, sampai kain sarung hitam suamiku yang saat itu tengah dikenakan suamiku terngiang-ngiang di selaput otak.

Melihat kebiasaan suamiku bersarung begini, mengingatkanku ke masa silam tentang sosok ayahku yang tegas. Kesehariannya kerap memakai sarung. Hanya ke kantor, ayahku tak memakai sarung. Dalam kondisi apapun, saat membaca, menulis, atau sekadar bersantai manja dengan ibuku. 

Lain lagi ibuku, lebih mengutamakan keindahan kamarnya. Menjahit sendiri beragam sarung bantal  sekaligus spreinya dengan motif menarik. Yang penting, harus rajin diganti dan sejuk dipandang mata, sebutnya kala itu. Nggak kebayangkan, tempat tidur dibiarkan tanpa sarung?. Hihi.

Whatever, bagiku makna sarung tak sekadar sebagai simbol. Jika diurai betapa dalamnya makna sarung ini dalam kehidupan. Konon sarung berasal dari Yaman yang dikenal dengan sebutan Futah, Izaar, wazaar, dan ma'awis

"Di Indonesia sarung kepanjangannya "sarune dikurung". Filosofinya,  agar manusia mengedepankan rasa malu, tidak sombong, tidak arogan, apalagi sembrono". Dalam Wikipedia sarung diartikan sepotong kain lebar yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti pipa. 

Dari ketiga definisi diatas aku lebih tertarik memaknai sarung secara konotatif. Bagaimana tidak? Aku teringat dialogku dengan suami beberapa hari ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline