Lihat ke Halaman Asli

Vethria Rahmi

Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau

Dari Haru Biru hingga Sedekah Pelipur Kalbu

Diperbarui: 8 Mei 2020   23:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Screenshot Youtube: Diksi Pukul Dua

Kriiiiiiingggg, alarm berbunyi membangunkanku. Aku terkesiap, mengucek-ngucek mata lalu melirik sesaat ke layar hp. Jam sudah menunjukkan pukul 07.40 WIB. Sontak aku teringat harus segera mengisi absen online ditempatku bekerja. Aku kembali meringkuk dalam selimut tebal yang menghangatkan tubuhku setelah tampil tulisan sukses terkirim dilayar ponsel. Walau sinar mentari mulai menembus jendela kamarku pagi ini, meneruskan tidur seolah nikmat tiada tara saat cuaca dingin begini.

Teringat tantangan Kompasiana event  Samber THR dan Samber 2020 hari 12 . Kuraih kembali ponselku dan mulai mengetik sembari menerawang berpikir. Melihat tema kali ini, entah kenapa pikiranku berhenti pada sebuah momen. Ya, keinginan untuk  menuliskan kenangan ini begitu kuat. Ternyata aku punya kisah connecting happiness yang bisa dikenang masa sekolah dasar.

Waktu itu aku yang polos itu belum mengerti, apa makna sedekah. Yang kurasakan, setiap kali melihat teman yang kurang mampu, atau melihat tukang becak, atau pun melihat ibu-ibu tua yang berjualan sayur dipasar, hatiku mudah sekali terharu.

Setidaknya aku perlu banyak bersyukur, bisa memiliki rasa empati di usia yang terbilang masih anak anak banget.
Aku mengenalnya puluhan tahun silam. Ketika aku masih berkepang dua. Waktu itu aku masih kelas lima sekolah dasar, umurku masih sembilan tahun. Usianya dua tahun dibawahku yang artinya ia masih kelas tiga SD kala itu. Sebut saja namanya Fatma.

Tidak banyak yang kuingat, selain raut wajah kecilnya hingga kini. Seingatku ia sering membiarkan rambutnya terurai begitu saja. Rasa-rasanya pupil matanya agak besar dengan dagu sedikit lancip. Pribadinya yang pendiam dan cenderung  pemalu menarik perhatianku.

Bagaimana tidak?, Disaat teman-teman sebaya tampak riang gembira ketika lonceng waktu istirahat berbunyi. Ia selalu tampak loyo, dengan tampang muka sedih berdiri di pojokan gerbang sekolah. Pakaian sekolah yang kusut, warnanya pun sudah tidak putih lagi, mulai menguning. Rok sekolahnya pun sudah terlihat kekecilan untuk ukuran tubuhnya. Sejak saat itulah aku selalu memperhatikannya dari kejauhan.

Suatu hari, saat aku bersama teman-teman satu kelas asik bermain bersama, sembari sesekali menyeruput es krim ditangan kami.
Seketika batinku terkesiap. Perhatianku kembali tertuju kepada gadis kecil itu lagi. 

Tanpa berpikir panjang, perlahan aku mendekatinya. Anehnya Fatma hanya menunduk saja tanpa mau menatapku.

"Siapa namamu, aku vera seraya mengulurkan tanganku," ucapku sedikit ragu. Ia terlihat kikuk, sambil menggeleng-geleng menutup muka mungilnya dengan kedua tangan.

"Maaf, aku tak berniat menggangu kok, ucapku hati hati sekali. "Kog nggak ikut bermain, kataku lagi dengan pelan. Dia hanya diam membisu tanpa jawaban.

Aku tak menyerah dan bertanya lagi. "Kelas berapa, aku cuman pengen kenalan dan berteman denganmu," kataku lagi. Akhirnya ia membuka suara. "Kelas tiga, namaku Fatma," sahutnya tersenyum malu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline