Lihat ke Halaman Asli

Ya Allah, Kangen Ibu Sang Malaikat Hidupku

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13359971561811397488

Adalah naluriku sebagai seorang anak, meski sudah tergolong usia dewasa, tergerak perasaan dan pikiran ini, melayang jauh kepada sosok yang pernah akrab dengan dengan kehidupan masa kecilku. Mungkin bagi orang lain tidak pernah akan menjadi masalah. Tapi bukan bagi diriku. Karena itu, air mataku menetes tak terasa, saat kudengar alunan lagu tentang ibu. Sosok yang amat sangat kurindukan keberadaannya. Sosok yang selalu berada dalam ingatan dan ingin kurasakan sentuhan lembut tangannya pada kulitku. Sudah setahun terakhir ini aku dan temanku memang tinggal di rantau dalam rangka studi. Ada masa-masa dimana aku dan temanku bertemu, berbagai rasa, suka dan duka. Obrolan kami tanpa sadar kembali mengungkit keberadaan peran seorang ibu dalam kehidupan kami. Ada yang sempat membuat aku tertegun, ketika ku dengar sahabatku bercerita tentang kerinduannya pada ibunya di tanah air yang sudah satu tahun ditinggalkannya karena harus menuntut ilmu di negeri Sakura. Kulihat air matanya pun menetes mengingat kerinduan itu. Dia bercerita tentang betapa mengagumkan ibunya saat beliau membuatkan makanan kesukaannya yang sangat lezat. Kebanggaan itu diperkaya dengan status ibunya sebagai seorang peneliti dengan karir yang sangat cemerlang di salah satu instansi pemerintah. Namun betapapun sibuk ibunya, beliau masih menyempatkan diri untuk selalu memeluk tubuh sahabatku saat dia akan memejamkan mata. Betapapun sibuk ibunya menyiapkan pakaian yang pantas saat sahabatku hendak wisuda di akhir kuliahnya adalah bagian lain yang tidak pernah dia lupakan. Sahabatkupun selalu meminta nasehat ibunya saat dia tengah dirundung masalah. Bagi sahabatku, ibunya adalah sosok wanita yang pantas ditirunya. Sedangkan bagiku, ibu adalah sosok yang tidak pernah kurasakan kehadirannya. Saat aku kedinginan dan ketakutan, aku hanya mampu berdiam di kamar dan memeluk tubuhku sendirian. Bahkan saat ku terima dua buah undangan khusus yang diberikan universitas saat wisuda istimewaku, aku tidak tahu siapakah yang harus turut merasakan kebahagiaanku saat itu. Aku hanya terdiam saat itu tanpa tahu apa yang hendak kulakukan. Atau saat aku merasa sedih di negeri Sakura inipun, aku tidak tahu harus menceritakannya pada siapa. Lagi–lagi aku hanya bisa menuliskan untaian kalimat yang melukiskan perasaanku di laptopku. Akupun tidak tahan untuk menahan rasa kerinduan yang teramat dalam atas ibuku. Rasa rindu itu semakin membara terasa saat ku harus menuntut ilmu di negeri Sakura ini. Entah sudah berapa cara yang kucoba tuk menemukan ibuku tercinta. Tapi Allah mungkin belum menakdirkan pertemuan kami berdua. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan ibuku sebagai seorang hamba Allah, mungkin ibuku bukanlah seorang yang istimewa seperti ibu sahabatku. Beliau hanyalah seorang wanita biasa yang bahkan tidak bisa membaca dan menulis karena memang tidak pernah mengenyam pendidikan. Beliau adalah seorang wanita yang harus menjalani liku-liku kehidupan dengan begitu kerasnya. Beliau juga harus berjuang mengais rezeki untuk sesuap nasi untuk anaknya dengan jalan meminta uang dari para pemilik kendaraan beroda empat. Sejak kecil hingga 22 tahun kini, aku hanya bisa menatap teduh wajah ibuku sebanyak tiga kali, yaitu saat aku duduk di taman kanak- kanak. Saat itu ibu masih memakaikan seragam sekolah TK ku dan juga masih menyisir rambutku. Tapi tiba- tiba dengan alasan yang tidak ku mengerti saat itu, ibu meninggalkanku. Aku menangis sambil memegangi kedua kaki ibuku dan memohon agar tidak meninggalkanku. Tapi ibu menepiskan kedua tanganku dan berlalu meninggalkan diriku yang masih kecil tanpa menoleh lagi ke arahku. Tanpa mengerti apa latar belakang pertengkaran antara ibu dan ayahku, kusadari itulah penyebab utama kepergian beliau. Setelah kepergian ibu, kakeklah yang memandikan dan memakaikan seragam sekolah juga menyisir rambutku. Sementara ayahku pun juga meninggalkanku sendirian. Beliau memilih menikmati hidupnya dengan seorang istri barunya tanpa berusaha mengerti betapa saat itu aku sangat membutuhkannya. Aku selalu berusaha menemui beliau di ‘istana’ barunya, tapi beliau rupanya lebih mencintai kehidupan barunya dan melupakan sosok mungilku dari masa lalunya. Ayahku hanya terdiam tak mampu bergerak saat ku menangis meminta kehadiran beliau setiap minggu ke rumah kakekku. Akhirnya hanya sosok kakek dan neneklah yang bersamaku dan mengusap air mataku juga menemani tidurku. Masa kecilku kulalui tanpa mengerti sepenuhnya siapa sosok ibuku. Saat kutanya pada kakek tentang ibu, beliau selalu memintaku untuk senantiasa bersabar dan mendoakan ibuku. Entah di tahun ke berapa, aku kurang ingat betul tepatnya, suatu hari saat aku pulang dari sekolah, kudapati sosok wanita yang tengah mengendong seorang anak kecil. Wanita itu terlihat kurus dengan pakaian sederhana yang dikenakannya dan tidak kulihat goresan kosmetik sedikitpun di wajahnya. Namun kulit wajahnya masih memancarkan sisa kecantikan masa lalunya. Kulihat tangannya hanya memegang sehelai selendang lusuh yang sebagian dibelitkan ke tubuh mungil di dekapannya. Tiba- tiba sosok wanita yang terlihat asing di mataku itu memeluk tubuhku. Sebagai anak kecil yang kurang mengerti akan bagaimana harus menyikapi suasana ini, aku cuma tertegun diam tanpa bisa berkata apa-apa. Aku kemudian berlari mendekati kakekku yang segera merengkuhku dalam pelukannya. Saat itu kulihat air mata menetes di wajah kakekku yang segera kuhapus dengan tangan kecilku. Kakek kemudian berkata padaku, "Nak, jangan takut… dialah ibumu yang selama ini selalu kau tanyakan. Ayoo… beri salam dan cium ke dua tangannya agar hidupmu selalu bahagia." Tapi aku tetap tak mampu menggerakkan tubuhku menghampirinya. Aku hanya tetap terdiam dalam pelukan kakekku seraya memandang wajah sosok wanita itu yang juga tengah memandangku sambil meneteskan air mata yang mengalir deras di kedua pipinya. Bahkan saat ibu harus pamit balik ke rumahnya di Ibukota setelah tiga hari lamanya berada bersamaku. Aku tidak sanggup meneteskan air mata. Aku tidak mampu memahami kenapa hal itu terjadi. Suatu hari, dua minggu setelah Lebaran, ketika memasuki perguruan tinggi di tahun pertama, Ibu datang kembali menemuiku. Saat itu kakekku pun telah tiada dan hanya seorang wanita tua yang tidak kuasa berjalan yang ada bersamaku. Ibu terlihat amat kurus dan masih tetap mengenakan pakaian yang begitu sederhana tanpa polesan lipstik di bibirnya. Kulihat wajah beliau yang kusam seperti menangung banyak masalah kehidupan. Beliau terlihat lebih tua daripada sebelumnya. Saat itu ibu menangis memelukku sambil memberikan sepasang baju bermotif bunga kecil warna biru muda yang hanya dibungkus dengan plastik putih tipis dan berkata : "Maafkan ibu nak, karena hanya baju ini yang bisa ibu berikan padamu," ucap ibuku sambil berkaca- kaca. Aku tidak mampu menggerakkan bibirku saat kuterima sepasang baju pemberian ibuku. Aku hanya bisa meneteskan airmata sambil ku usap air mata ibuku. Beliau kemudian bercerita tentang apa yang telah dilakukannya padaku sambil terus memeluk erat tubuh mungilku. Ya! ibuku ternyata seorang peminta-minta yang membawa kedua adik tiriku yang masih kecil untuk ikutan mengamen hanya untuk sekedar mencukupi kehidupan mereka di ibukota. Saat kutanyakan tentang sosok ayah adik tiriku, Beliau hanya bisa meneteskan air mata sambil mengatakan bahwa laki-laki itu telah meninggalkannya tanpa memberi nafkah sedikitpun dan Ibuku tidak pernah tahu di mana keberadaan laki-laki itu saat ini. Aku berulang kali memeluk beliau dan mengusap kedua air mata yang menetes di kedua pipi beliau. Semakin merasa hatiku kian teriris pedih saat kuajak beliau untuk menunaikan shalat. Beliau menggeleng sedih dan mengatakan bahwa beliau tidak bisa menunaikan shalat. Aku merasakan suatu goresan pisau tajam tengah menusuk hatiku saat ibu terbata-bata melafalkan beberapa bacaan shalat mengikutiku. Aku menyadari, hidup ini terkadang memang keras. Aku dibesarkan dalam lingkungan keluarga tanpa sosok ibu yang bagi kebanyakan mungkin telah banyak memberikan bahan pelajaran kewanitaan menyongsong kehidupan di masa mendatang. Aku kadang merindukan yang demikian. Entah itu soal jahit menjahit, memasak, arisan, pengajian, hingga dongeng sebelum tidur, dari seorang ibu terhadap anak perempuannya. Setelah seminggu lamanya di pertemuan kedua kami, ibu kembali pergi meninggalkan diriku lagi meski telah berulang kali kuminta agar ibu tinggal bersamaku dan nenek. Yaa.. saat itu nenek masih belum bisa menerima kehadiran ibuku kembali di tengah kebersamaan kami. Wajah nenek selalu memancarkan ketidaksenangan dan tak henti-hentinya melontarkan perkataan memarahi dan mengusir ibuku. Saat itu sambil menangis ibuku berlari meninggalkan rumahku tanpa sempat memberikan pesan apapun. Sesudah itu, tak pernah kudengar lagi kabar tentang ibuku. Aku telah berusaha menemukannya dengan menyusuri berbagai gang kecil di daerah terpencil Ibukota sebelum kutinggalkan negeri tercinta, namun hingga detik ini aku tidak pernah menemukan ibuku. Sementara di negeri Sakura, aku senantiasa bertanya pada hatiku, adakah ibuku masih meminta-minta? Adakah ibuku tengah menggeluti perihnya kehidupan di tengah kemiskinan ini padahal anak perempuannya nun jauh disana jauh lebih baik kondisinya? Ada rasa berdosa yang tidak dapat saya cari penyebabnya dalam diri ini. Kalau harus mengingat sepotong baju yang pernah diberikan kepadaku waktu itu, rindu pada beliau ini sulit untuk dikemukakan dengan kata-kata. Terkadang aku membayangkan, andai saja aku diberi kesempatan mengenakan Kimono pada tubuh ibuku, sebagai hadiah kecil sang anak terhadap beliau, betapa bahagianya hati ini. Sementara Jepang dan manusianya sibuk menyongsong majunya teknologi dan pesatnya komunikasi, hanya sepotong doa dan air mata yang kuharapkan bisa mengurangi kerinduan ini pada ibuku. Yaa Allah....... Dzat Yang Maha Menguasai segala sesuatu..... Bukanlah sesuatu hal yang sulit bagi Engkau duhai Allah Tuk pertemukan hamba dengan ibu hamba. Ya Allah Maha segalanya, aku rindu Malaikat hidupku. Aku kangen beliau. Semoga takdirmu mengabulkannya.

Mading Cinta Fiksiana

http://www.facebook.com/groups/374792569230705/)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline