Masa kuliah telah selesai. Hari ini aku digelisahkan oleh dua pilihan yang susah; pertama adalah cinta, kedua mimpi. Ketika aku memilih yangpertama, maka pikiranku mati, hidupku akan berbasis rutinitas saja, karena yang kupikirkan tiada lain adalah kerja, kerja, dan kerja untuk persiapan menikah, sementara aku tak tahu apakah pilihan pertama benar-benar menjanjikan dan akan berjalan mulus sesuai ekspetasi. Berbagai kemungkinan buruk selalu bergentayangan; diselingkuhilah, ditinggal tanpa alasanlah, dan lain-lain. Sempat aku berpikir, lebih baik kutinggal dulu daripada aku yang ditinggal nanti. Berarti masalahnya ada pada kualitas kepercayaanku pada wanita itu, tetapi membangun kembali rasanya memang susah.
Pilihan kedua adalah mimpi. Ayahku, kakakku, selalu bilang; jangan mati sebelum mati. Artinya jangan mati pikiran, mati kreativitas, mati produktivitas, dan kematian lain yang belum waktunya mati, bahkan memang jangan sampai mati. Dilema itu mungkin memang sering terjadi pada anak muda usia dua puluh tahun ke atas sepertiku ini, yaitu mereka yang berada pada persimpangan jalan antara mimpi dan cinta. Ketika aku memilih mimpi, pasti aku bisa lebih produktif daripada sebelumnya, karena salah satu ketergantunganku berhasil kulepas (pacar), otomatis bebanku akan berkurang. Tetapi, entah kenapa rasanya begitu berat memulai langkah ini. Sudah sering aku menulis kata-kata puitis untuk menyudahi hubungan ini, namun selalu saja berat hati ketika mengirimkannya, lalu kuhapus lagi.
Aku selalu bertanya, apakah tidak bisa keduanya jalan bareng?
Awalnya aku sangat optimis untuk menjalani keduanya, tetapi di tengah jalan aku merasa bahwa ini bukan pilihan mudah. Penuh kompleksitas. Penuh dialektika.
Persoalan Lelaki Usia 20 ke Atas
Hal yang membuat anak usia 20 tahun ke atas gagal mencapai mimpinya, memang kuakui rata-rata karena pacar. Memang di umur itu tantangannya adalah "fomo pacaran". Masa ini adalah waktu dimana cowok dan cewek saling menganalisis dan meneliti calon-calonnya, dan jalan yang sudah umum memang melalui "pacaran". Dalam fase ini, banyak yang tidak serius berfikir tentang konsep dalam berpacaran, mereka tidak bertanya "apa yang dicari?" "butuhnya apa?" "karakternya baik atau tidak?" "kapan selesai pacaran?" Maka dari itu anak-anak muda banyak yang kalah melewati proses ini. Mereka terbuai oleh kemolek dan kelap kelip semu wanita.
Posisi lelaki dalam hubungan pacaran memang lebih berat dibanding perempuan apalagi mereka sepantaran, maka di situlah laki-laki akan dipaksa memilih dua keputusan besar dalam hidupnya; (1) mempertahankan cinta dan mimpi yang seimbang, atau (2) membuang salah satunya. Kalau hubungan itu ada komitmen sampai menikah maka lebih berat lagi, tidak hanya menjaga hubungan yang seringkali ego perempuan menjadi pemimpin, menjaga mimpinya sendiri, sekaligus menyiapkan tabungan untuk menikah, ditambah lagi kalau Si laki-laki sendiri tidak begitu yakin dengan Si perempuan, maka tambah repot. Mau putus itu berat, karena takut mengecewakan; dilanjutkan juga sering bikin overthinking. Yah begitulah dilema pacaran.
Sebuah pertanyaan yang cukup menarik untuk ditelisik adalah "bedanya pacaran dengan cinta itu apa?" "apakah mencintai harus pacaran?" Menurut saya, ikatan cinta yang pasti adalah pernikahan, selain itu bullshit, hanya rekaan belaka. Kesimpulannya sederhana, kalau mau mencintai perempuan maka pilihannya adalah menikah. Itu adalah jawaban yang singkat dan melegakan saya kira. Jalan pintasnya atau alurnya seperti ini: (1) selesaikan pacaran, (2) fokus dengan mimpi dan pencapaian (3) cari calon (4) menikah. Memang susah, tapi ya begitulah hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H