Hari ini aku gagal sidang skripsi. Aku tak mau menyalahkan siapa-siapa. Lebih baik aku merenung di sini, di kopi tanpa nama. Mungkin orang-orang dekatku akan kecewa, ketika mendengar kabar bahwa aku masih saja belum sidang. Kadang aku takut kalau orang menilai bahwa aku pemalas. Memang aku malas mengerjakan skripsi. Tapi bukan berarti aku malas mengerjakan yang lain.
Yang kusesalkan adalah kenapa skripsi sebagai produk ilmiah, terlihat tak menarik. Seharusnya ia menarik seperti buku. Tapi faktanya, orang lebih suka baca buku ketimbang skripsi. Itu menandakan bahwa terlalu ilmiah malah membuat tak menarik. Orang bosan baca tulisan baku, dan model yang kaku.
Buku tak mencantumkan metode penelitian bukan berarti tidak ilmiah, karena memang tidak melakukan penelitian, tetapi sedang menulis penemuan. Ia lebih menarik dibanding skripsi karena format penulisan yang tak terikat pakem, lebih bebas. Bayangkan saja, sudah berapa tahun format skripsi kayak gitu dipakai dan belum ada perubahan. Seharusnya skripsi dimodifikasi, disederhanakan, diobrolkan santai dengan banyak orang. Saya rasa dengan perubahan itu, tidak akan mengurangi tingkat keilmiahan skripsi. Sementara yang saya lihat saat ini adalah skripsi berada di ruang tertutup, lampunya remang-remang, hanya ada dua kursi yang diduduki oleh mahasiswa dan ketakutannya. Seharusnya ada dosen pembimbing di sana.
Ngrasani Skripsi
Ada skripsi yang memang perlu dilakukan perubahan, misalnya skripsi jenis eksperimen/ tindakan kelas. Lebih baik skripsi modelan kayak gini disajikan dalam bentuk video dokumenter. Pasti lebih menarik daripada disajikan berbentuk teks yang halamannya ratusan, orang mau baca males, dijual pun nggak laku. Bahkan, model skripsi yang seperti itu sangat bersahabat dengan manipulasi data.
Dengan dokumenter, kita bisa lihat siswa SMP misalnya, tentang bagaimana keseruan kerja mereka diabadikan melalui video, lalu hasil penelitiannya dikasih tahu. Jadi rek, cara berpakaian kalian itu mempengaruhi tingkat kerajinan dalam belajar, Nah contoh pakaian yang bikin kalian rajin itu kayak gini lo, Kalau yang kayak gitu kalian bakal malas belajar misalnya. Bukankah lebih manfaat, efektif dan nggak ribet daripada harus ngetik ratusan lembar, habis itu masih revisi, ngetik lagi, ngeprint lagi. Apakah dengan bentuk video itu tidak ilmiah, ya masih ilmiah. Artinya muatan skripsi yang di teks, tetap diucapkan dengan lisan.
Tapi nyatanya tidak, siswa-siswa itu dipakai untuk asal kerja saja, setelah itu selesai. Ganti Si penulis skripsi yang pusing. Rasan-rasan selanjutnya adalah sebenarnya skripsi ini buat apa? Apakah memang diperlukan atau tidak? Kalau memang diperlukan, untuk apa? Kalau buku jelas, ia dicetak dan diperjualbelikan, bermanfaat untuk banyak orang. Lha skripsi? Dijual nggak laku, aksesnya susah, ngerjain susah, tiap malem begadang, riwa-riwi nyariin dosen, setelah jadi buat apa nggak jelas?
Ya buat syarat lulus. Iya betul, cuma itu.
Dalam skripsi pun sering terdapat pengulangan hal-hal yang usang, misalnya pada bab satu kita sering membaca bagian manfaat blablabla, tujuan blablabla, kegunaan blablabla. Entah kenapa kalau membaca bagian itu, rasanya ingin skip aja, karena kita tahu bahwa kalimat itu ditulis hanya ikut-ikutan skripsi tahun kemarin. Kalau mau lebih bijak, harusnya ditulis satu saja dalam bentuk narasi, tujuannya adalah blablabla. Sudah, tak perlu menambahi manfaat dan kegunaan, karena, ketika menulis tujuan dan manfaat yang banyak itu, seolah-olah nanti akan bener-bener bermanfaat sebanyak itu. Padahal tidak. Misalnya, manfaat untuk masyarakat umum adalah blablabla. Apa iya? boro-boro bermanfaat. Masyarakat mau baca skripsi itu aja belum tentu.
Rasan-rasan terakhir adalah skripsi bukan tolak ukur sukses atau gagalnya mahasiswa. Sebenarnya UKT yang dibayarkan adalah untuk membeli fasilitas kampus, teman dari berbagai kota, pengalaman organisasi, kenalan dosen, nama almamater, buku-buku di perpus, dan pengajaran mata kuliah, skripsi baru terakhir. Ia tidak semewah itu, ia hanya perlu diselesaikan dan disidangkan, setelah lolos, sudah, cukup. Ambil titel lalu lamar kerja, kalau ditolak, cari lagi sampai keterima. Punya penghasilan, lalu menikah, punya anak, berkeluarga, kerja lagi, dan akhirnya mati.
Kalau kita pikir-pikir ya, hidup manusia itu sama kayak skripsi ternyata, pakem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H